1. Pendahuluan
Kliningan-Bajidoran adalah sejenis seni pertunjukan (performing art) yang populer di daerah pantai utara Jawa Barat, terutama di Subang dan Karawang. Biasanya hadir dalam acara kawinan atau khitanan. Sajian utama dalam pertunjukan Kliningan-Bajidoran adalah lagu (Sunda) dan tari (Jaipongan) yang dibawakan secara langsung. Di samping bajidor (sebutan untuk penonton yang aktif terlibat dalam pertunjukan), sinden merupakan pusat dari pertunjukan tersebut. Ia ibarat magnit yang memiliki daya pemikat bagi para penonton, terutama para bajidor yang terbujuk menghambur-hamburkan uangnya untuk saweran. Oleh karena posisinya itu, para sinden harus tampil cantik, menarik dan mampu menjadi pusat perhatian. Tentu saja, untuk tampil secara menarik, modal utama sinden adalah memiliki suara yang merdu, pandai menari, dan cantik. Akan tetapi, menurut Encem Sunariah, sinden angkatan tahun 1960an, ajen sinden yang luhur adalah harus kuat dalam tetekon atau wirahma (irama). Sebab, meskipun memiliki suara bagus tetapi bila penguasaan iramanya tidak baik, maka sinden tersebut dianggap tidak memadai. Sebaliknya, meskipun suara tergolong biasa tetapi penguasaan iramanya baik, maka sinden tersebut dianggap lebih memadai .
Memiliki suara merdu, cantik, dan tarian yang bagus, dipahami oleh para sinden bukan sekedar bakat yang dijaga dan dilatih secara terus-menerus, tapi juga tercipta karena ada campur tangan kekuatan supra-natural yang diundang melalui mediator (dukun) atau usaha sendiri seperti melakukan mutih (puasa). Begitu juga dengan kepercayaan masyarakat di sekitarnya, bila melihat ada sinden yang tampil memukau, sehingga orang-orang yang melihat atau mendengarnya seolah-olah terhipnotis, biasanya mereka mempercayai bahwa sinden tersebut telah dibantu oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang tidak kasat mata, baik melalui susuk yang dipasang di beberapa bagian tubuhnya, maupun mantera-mantera yang digumamkan sebelum pertunjukan dimulai.
Tulisan ini bermaksud menguraikan bagaimana para sinden berupaya memperoleh kekuatan-kekuatan supranatural ini. Sumber-sumber utama yang penulis peroleh untuk menyusun penelitian kecil ini, selain melalui wawancara orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi dengan pokok masalah yang dipilih, juga berasal dari hasil penelitian dari Mas Nanu Munajar (2004) dan Endang Caturwati (2006).
Setelah pendahuluan, tulisan akan membahas tentang definisi kesehatan sebagai pijakan yang dipakai dalam kajian ini. Kemudian akan menguraikan sedikit mengenai Kliningan Bajidoran, sebelum akhirnya membahas sinden. Dalam bagian selanjutnya, masuk ke dalam pembahasan perilaku sinden dalam upaya mendapatkan kekuatan-kekuatan supranatural, dan akhirnya kesimpulan.
2. Definisi Sehat dan Sakit: Pendekatan Naturalistik dan Personalistik
Tentu saja pilihan ini akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, seperti: mengapa memilih upaya sinden dalam memperoleh kekuatan supranatural? Apa hubungannya dengan komunikasi kesehatan? Sakit atau sehat ternyata kategori yang begitu labil. Ia tidak hanya suatu ‘label’ yang ditentukan oleh orang yang memiliki otoritas untuk itu, tapi juga itu adanya ketidakstabilan yang dirasakan oleh seseorang. Azwar (2004) menulis bahwa manusia yang sehat itu tidak hanya dilihat secara jasmani saja, tetapi juga secara rohani. WHO pada tahun 1984 yang telah memperbaiki definisi sehat menjadi mencakup 4 dimensi; yaitu sehat dalam arti fisik, psikologik, sosial, dan spiritual. Aspek-aspek tersebut akan mempengaruhi penampilan atau performance setiap individu, dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti bekerja, berkarya, berkreasi dan melakukan hal-hal yang produktif serta bermanfaat. Seseorang yang terserang pilek atau menstuarsi, misalnya, tidak dikategorikan sakit, tetapi tetap dianggap sehat bila orang-orang yang terlanda kedua hal tersebut merasa kegiatan sehari-harinya tidak terganggung olehnya. Sebaliknya, orang merasa ‘sakit’ karena ada kekurangan dalam tubuhnya. Kekurangan tersebut bukan karena cacat tubuh, kondisi tubuh yang drop, atau ada virus yang sedang menggerogotinya, tapi bersifat kejiwaan. Misalnya seseorang yang telah memiliki hidung, namun karena merasa terlalu pesek, dan oleh karena itu tidak memiliki kepercayaan untuk tampil, maka ia bisa dikategorikan sakit.
Oleh karena itu, orang-orang pergi ke dokter, bidan, atau malah dukun tidak hanya untuk mengobati penyakit yang sedang menyerang tubuhnya, tapi juga untuk meminta petunjuk pencegahan datangnya penyakit, atau juga menambahkan hal-hal yang dianggapnya kurang dan tidak ada di tubuhnya. Dokter menganjurkan meminum suplemen agar pasiennya tidak terkena penyakit. Dukun memberikan isim untuk melindungi orang-orang yang datang padanya agar tercegah dari perbuatan jahat. Bidan memasangkan susuk pada perempuan yang memintanya agar tidak hamil lagi. Dokter melakukan operasi plastik agar hidung yang tadinya pesek menjadi mancung dan menarik, sedangkan dukun menanamkan susuk pada tempat-tempat tertentu agar orang-orang yang memintanya menarik di hadapan orang lain. Dan sebagainya.
Sinden Kliningan-Bajidoran yang meminta bantuan seorang dukun atau melakukan perilaku-perilaku tertentu agar penampilannya bisa memukau banyak orang, dalam kategori ini bisa dikatakan ‘sakit’. Ketika dukun telah memasangkan susuk untuknya, atau dia telah melakukan amalan-amalan tertentu atas petunjuk orang-orang yang dipercayainya, seperti misalnya tidur di kuburan yang dianggap kerabat, dan ternyata hal tersebut memberikan kepercayaan yang mendalam bagi penampilannya, maka ia berarti telah mencapai suatu kondisi keseimbangan, baik secara jasmani maupun rohani, dan oleh karena itu ia bisa dikatakan sehat.
Dalam antropologi kesehatan, ada dua pembagian yang ditawarkan oleh Foster dan Anderson (1986: 63-85) dalam rangka membagi sistem-sistem medis di belahan dunia Timur (non-Barat), yakni: naturalistik dan personalistik. Termasuk dalam kategori naturalistik jika sehat atau sakit dilihat sebagai kondisi adanya keseimbangan atau ketakseimbangan dalam tubuh manusia. Sehat berarti tubuh mengalami kondisi keseimbangan di antara faktor-faktornya seperti dingin dan panah, cairan tubuh (humor atau dosha)), yin dan yang, atau ayurveda. Ketika manusia berada dalam kondisi sakit, berarti unsur-unsur dalam tubuh mengalami peningkatan pada satu sisi dan penurunan di sisi yang lain, menurur usia dan kondisi individual. Penyakit (illness) bukanlah disebabkan karena ada campur tangan agen-agen yang aktif seperti makhluk supranatural, dukun, atau tukang sihir lainnya. Penyakit adalah ketidakseimbangan antara faktor panas dan dingin, cairan tubuh, faktor bumi, api, udara dan air (ayurveda), atau antara yin dan yang dalam tubuh manusia. Pengobatannya tidak melalui doa, mantera, atau upacara ritual tertentu, tetapi melalui pemasukan cairan atau minuman (jamu), rempah-rempah, atau buah-buahan tertentu yang dianggap memiliki khasiat. Paradigma naturalistik biasanya berisi pengobatan yang dekat dengan alam, oleh karena itu obat-obatannya disesuaikan dengan kondisi ekologis dari alam di mana sistem pengobatan itu muncul.
Sedangkan pendekatan personalistik mempercayai bahwa sehat atau sakit bisa disebabkan adanya campur-tangan makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun manusia (dukun, tukang sihir, atau tukang teluh). Orang yang sakit biasanya dianggap sebagai korban atau obyek agresi yang khusus ditujukan padanya untuk alasan-alasan tertentu. Bisa jadi bahwa sakit akibat virus tertentu, tapi dalam pandangan personalistik virus itu tidak datang dengan sendirinya, ia sengaja didatangkan oleh orang-orang tertentu yang memiliki niat jahat pada seseorang melalui bantuan makhluk gaib atau dukun. Contoh pandangan personalistik bisa dilihat saat Goerge W. Bush datang ke Indonesia, Ki Gendeng Pamungkas, seorang paranormal (dukun), mengatakan bahwa ia akan menyantet presiden Amerika itu. Namun ternyata sampai kembali lagi ke negerinya Bush tetap sehat. Ki Gendeng Pamungkas memberikan alasan yang juga personalistik, bahwa Bush telah dilindungi oleh para jawara dukun Yahudi. Untuk menunjukkan bahwa hal itu benar, Ki Gendeng Pamungkas menunjukkan bahwa saat Bush turun dari mobil untuk menginjakkan kaki di tanah Bogor, dilakukan dengan penapakkan kedua kakinya secara bersamaan. Karena hal itu direkam oleh kamera televisi, orang-orang bisa melihat bahwa memang Bush melakukan penapakkan kaki secara kurang lazim. Menurut Ki Gendeng Pamungkas perilaku seperti itu sengaja dilakukan olehnya, atas anjuran dukun Yahudi, agar Bush tidak terkena santet dukun Indonesia.
Perilaku sinden dalam upayanya meningkatkan kemampuan dan kecantikan bisa dikategorikan pula sebagai berada dalam ranah etiologi pengobatan personalistik. Untuk menjadi sinden seseorang harus memiliki suara yang merdu, wajah cantik, dan tubuh sintal, namun nampaknya hal itu dianggap belum cukup. Seorang sinden harus meminta bantuan seorang dukun, atau melakukan perilaku tertentu, sehingga ada makhluk supranatural bisa meningkatkan dan menjaga kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Penampilannya harus bisa mempesona orang (bajidor), atau malah mungkin membiusnya, sehingga bajidor itu dengan suka rela menghambur-hamburkan uang di mana pun pesinden itu hadir. Untuk menjadikan dirinya hal seperti itu, dia merasa bahwa harus ada makhluk gaib yang bisa membantunya. Dia harus memiliki kinasihan. Dia harus menyusupkan susuk di bagian-bagian tubuh tertentu melalui bantuan “orang pintar” (dukun). Dia harus berziarah ke kubur-kubur yang dianggap keramat. Dia harus merapalkan ajian-ajian tertentu yang bisa memukau orang. Dia harus memancarakan aura. Dan sebagainya. Bila kemudian ada bajidor kaya yang jatuh cinta padanya, sehingga senantiasa menguntitnya ke mana pun dia manggung, berarti bahwa “pengobatan” yang dilakukannya itu berhasil.
3. Kliningan-Bajidoran
Seperti telah disebutkan di atas bahwa Kliningan-bajidoran merupakan seni pertunjukan (tradisional) di daerah pantai utara Jawa Barat, khususnya Kabupaten Subang dan Karawang. Menurut beberapa pengamatan, seperti Buki Wikagu atau Mas Nanu Munajar, kesenian ini penuh dengan nuansa erotis, karena banyak menyajikan liukan atau goyangan pinggul perempuan yang “menggoda iman”. Bentuknya perpaduan berbagai macam tarian rakyat, antara lain seperti dombret, banjet, ketuk-tilu, tayub, doger, dan gembyung. Meskipun begitu, kliningan-bajidoran merupakan suatu jenis kesenian yang berbeda dari jenis-jenis yang membentuknya. Jenis-jenis kesenian yang menjadi unsur-unsur dari kliningan-bajidoran telah menjadi bagian-bagian yang tak bisa dipisahkan, masing-masing memiliki andil bagi terbentuknya sebuah jenis kesenian yang yang berbeda dari unsur-unsurnya, yakni kesenian kliningan-bajidoran tersebut.
Munculnya kliningan-bajidoran terkait dengan peran bajidor yang dahulu disebut pamogoran. Istilah ini ditujukan kepada orang yang memiliki hobi menari atau ngibing. Dalam menyalurkan hobi menari itu, antara kalangan rakyat dan ningrat biasanya terpisah. Lalu munculah tayub, arena hiburan atau klangenan bagi kaum menak, dan ketuk-tilu untuk kalangan rakyat biasa. Situasi politik pada tahun 60an memburuk. Hobi menari, baik di kalangan rakyat mapun menak pun terhenti. Ketika situasi politik membaik, muncul kerinduan dari para mantan pamogoran untuk kembali menggiatkan kesenian dimana mereka bisa melampiaskan hasrat ngibing bersama ronggeng sebagai sarana hiburan pribadinya. Maka kemudian, muncul kliningan-bajidoran. Musik pengiringnya adalah seperangkat gamelan yang pada umumnya menggunakan laras salendro, sering dipentaskan dalam acara-acara pesta/syukuran perkawinan, khitanan (sunatan), atau acara syukuran lainnya yang berkaitan dengan upacara-upacara ritual. Para penggemarnya yang dahulu disebut pamogoran, dalam kesenian kliningan-bajidoran disebut bajidor.
Mengenai makna bajidor itu sendiri sebetulnya tidak ada tahu artinya yang pasti. Beberapa orang yang dimintai keterangannya mengatakan bahwa kata itu kirata (dikira-kira tapi nyata) atau akronim dari barisan jiwa doraka, barisan orang-orang yang berjiwa durhaka. Kata itu mungkin untuk melabel tingkah-laku para bajidor yang acap lupa waktu, berkencan dengan sinden sambil menghambur-hamburkan uang dan mabuk-mabukan. Ada juga kirata lain yang menyebutkan bahwa bajidor itu singkatan dari abah-haji-ngador, bapak haji yang suka keluyuran. Diartikan demikian karena banyak bajidor yang berpredikat haji. Akan tetapi meskipun pelabelan memiliki makna yang buruk, tetap saja pada setiap pertunjukan kliningan-bajidoran, para penonton dan bajidor berjubel, menunggu kesempatan untuk bisa menari dengan sinden yang menjadi incarannya.
Menurut Deseng (60 tahun) , seperti yang diungkapkan pada Buki Wikagu, bajidor adalah kependekan dari banjet, tanji, dan bodor (lawakan). Banjet dan tanji adalah kesenian rakyat yang berkembang di kawasan pantai utara Jawa Barat. Sedangkan kata bodor karena seringnya para penonton mempertunjukan gerakan-gerakan lucu (bodor). Deseng memperkirakan bahwa sebutan bajidor yang menunjuk kepada orang yang suka kepada ronggeng (sinden) sudah ada sejak lama. Selanjutnya Buki (Wawancara, tanggal 2 Februari 2007) mengatakan tentang pendapat Deseng tersebut sebagai sebagai berikut:
Dalam sejarahnya, ronggeng memang black-list terutama di mata kaum ningrat. Tapi banyak juga para ningrat yang tergila-gila pada ronggeng dengan kesenian kampungnya itu. Cerita ini ada pada heureuy barudak lembur (gurauan anak-anak kampung) yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu: neng nong neng ja toroktok embe janggotan…dalem sumping dor bajidor tutunjuk kembang malati…(neng nong neng ja toroktok kambing berjanggut…ningrat datang dor bajidor menunjuk kembang melati….). Lagu heureuy barudak tersebut adalah sindiran. Jadi rakyat menyindir di satu sisi menilai negatif terhadap kesenian itu, di sisi lain cukup banyak ningrat-ningrat yang main ke kampung tergila-gila oleh ronggeng sebagai kesenian rakyat yang hidup di jalanan.
Penyajian Kliningan-Bajidoran itu sangat sederhana. Arena pertunjukan biasanya di bagi tiga bagian. Bagian pertama merupakan tempat pertunjukan utama, yakni tempat para nayaga dan sinden berada. Tempat itu umumnya dibuat agak tinggi untuk memisahkan dengan penonton. Para sinden, sekitar 10 sampai 12 orang, duduk emok berjajar di bagian paling depan.Bagian kedua adalah ruang kosong sebagai arena para bajidor untuk menari, dan bagian ketiga para penonton undangan yang duduk di jejeran kursi yang telah disediakan oleh penanggap. Sedangkan urutan pertunjukannya sebagai berikut: tatalu, ijab kabul dan sambutan, doa bersama, persembahan lagu khusus, kaulan dan soderan, pintonan ibing pola, hiburan ibing bebas, dan penutup (Munajar, 2004: 236). Tatalu adalah sajian instrumental di awal pertunjukan. Ijab kabul itu sambutan dari pemanggku hajat. Sambutan berisi pidato-pidato dari pemuka-pemuka desa. Doa bersama dipimpin oleh seespuh desa. Persembahan lagu khusus memuat penyajian lagu mitis, yakni lagu Kembang Gadung, yang berisi rasa hormat terhadap Tuhan yang Mahaesa. Mengenai kaulan dan soderan, adalah semacam ritual pemberian uang terhadap bayi yang baru 40 har hari atau pengantin sunat, bila acara Kliningan-Bajidoran untuk kedua hal tersebut. Pertunjukan inti, diawali oleh ibing pola, suatu persembahan tarian (jaipong) tunggal untuk para penonton dari sinden-penari primadona, dan tarian kelompok dari para penari yang lainnya. Hiburan ibing bebas adalah pelibatan para bajidor untuk turut menari serta meminta lagu. Kemudian selesailah acara, biasanya ditutup oleh MC.
Dalam ibing bebas, para undangan yang duduk berjejer di kursi, umumnya tampil sebagai para bajidor. Mereka menari sesama undangan lainnya, atau juga bersama para sinden yang ada di atas pentas. Tamu-tamu kehormatan yang masih duduk-duduk di kursi akan dipanggil untuk tampil melalui lagu yang sedang dibawakan oleh seorang sinden. Ketika para bajidor tampil dan memilih salah seorang sinden yang berjejer di bagian panggung depan, di tangan kirinya tergenggam segepok uang recehan, bisa seribuan, lima ribuan, atau malah dua puluh atau lima puluh ribuan, tergantung gengsi dan status orang bersangkutan. Tangan kanannya melambai-lambaikan selembar yang disambar oleh tangan sinden yang duduk di atas panggung. Kedua tangan itu saling menggoyangkan, dan posisinya kini bukan lagi sinden yang menggenggam tangan bajidor, tapi bajidor menggenggam tangan sinden. Kadang-kadang bajidor menggelitikkan telunjuknya pada telapak tangan sinden, sampai pada suatu momen tertentu melepaskan uang dan tangannya, serta kembali mengambil lagi selembar uang yang ada di tangan kirinya untuk kemudian disambar lagi oleh tangan sinden. Demikian terus menerus, hingga bosan, atau malah hingga uang habis.
Begitulah sedikit gambaran mengenai pertunjukan kliningan-bajidoran.
4. Sinden
Sebelum kata sinden populer dalam kliningan-bajidoran, kata ronggeng lebih umum digunakan. Namun karena konotasinya dianggap negatif, yakni bisa bermakna perempuan yang suka menganggu suami orang atau juga pelacur, kemudian berubah menjadi sinden. Kata sinden awalnya digunakan dalam wayang golek untuk menyebut juru kawih (penyanyi lagu tradisional Sunda). Lambat laun kata itu pun dipakai dalam pertunjukan kliningan. Tepatnya sejak kapan perubahan berlangsung, belum diketahui secara persis, namun banyak yang menduga bahwa itu terjadi ketika posisi dalang dalam wayang golek tergeser oleh posisi sinden. Bila awalnya sinden hanya menjadi pelengkap dalam pertunjukan wayang, pada perkembangan selanjutnya posisinya menjadi terbalik, cerita wayang hanya jadi pelengkap bagi acara permintaan lagu dari para penonton yang tak segan-segan melakukan sawer bila lagu permintaannya dilantunkan oleh sinden yang menjadi pujaannya (Munajar, 2004: 138-139; Caturwati, 2006: 48).
Secara etimologis kata sinden berasal dari bahasa Jawa yang berarti “kawih nu dipake ngabararengan gamelan” (Satjadibrata, 1954: 376). Dalam kliningan-bajidoran, sinden berarti perempuan yang menyanyi (lagu-lagu Sunda) dan sekaligus menari (jaipongan). Jika pada awal kemunculannya ronggeng digunakan sebagai media ritual dalam upacara mapag hujan maupun upacara penghormatan kepada Dewi Sri, kini sosok sinden dalam kliningan-bajidoran hanya sebagai penghibur saja. Ia merupakan bagian dari sebuah pertunjukan, namun ia menempati posisi yang paling sentral. Oleh karena itu, ketika orang mengatakan tentang kliningan-bajidoran dengan tanpa menyertakan sinden di dalamnya, maka ia akan menjadi ungkapan yang aneh. Kliningan-bajidoran harus selalu menyertakan sinden, sebab tanpa sinden yang pandai menyanyi dan menari, mungkin kesenian ini telah lama ditinggalkan oleh para penyangganya.
Sinden merupakan daya tarik dalam kliningan-bajidoran. Jika tanpa kehadiran sinden, tampaknya kliningan-bajidoran di daerah Subang dan Karawang sudah lama hilang dari peredaran, karena terlindas oleh kesenian-kesenian yang lebih modern, seperti dangdut, layar tancap, atau organ tunggal. Para bajidor yang senantiasa hadir dan turut berpartisipasi dalam kliningan-bajidoran bukan semata-mata ingin memuaskan hasratnya untuk menari, tapi yang lebih penting adalah ia bisa bertemu dengan sinden yang menjadi pujaan dalam situasi yang khusus.
Rombongan kliningan-bajidoran biasanya tampil sebagai hiburan dalam acara perkawinan atau khitanan. Pemangku hajat yang mengundangnya tentu saja akan membayar penampilannya tersebut. Akan tetapi, bila keberlangsungan hidup rombongan kliningan-bajidoran hanya mengandalkan bayaran dari yang menanggap, maka ia pun telah lama “gulung tikar”, karena tidak mampu memberi makan banyak mulut orang-orang yang terlibat di dalamnya. Para bajidor adalah penyangga kehidupan klingan-bajidoran yang utama. Atas kemurah-hatian menghambur-hamburkan uang yang menjadi miliknya, kehadirannya menjadi penting dalam setiap pertunjukan kliningan-bajidoran.
Seperti sudah disebutkan, motivasi utama para bajidor hadir dalam pertunjukan kliningan-bajidoran adalah bertemu dan menari dengan para sinden. Oleh sebab itu, sinden-sinden dalam setiap pertunjukan senantiasa di jajarkan di panggung paling depan. Sinden harus pandai memikat para bajidor. Sinden ibarat mesin uang yang menjadi tumpuan pemain atau anggota kliningan-bajidoran lainnya. Ketika seorang atau lebih sinden telah mampu memikat bajidor-bajidor yang kaya raya, maka sudah tentu ia akan meningkatkan kemakmuran semua yang terlibat di dalamnya. Selain itu, sindennya sendiri mungkin juga akan lebih makmur dibandingkan yang lainnya, sebab, jika sudah ada kesepakatan mungkin antara bajidor dan sinden akan meneruskan kencannya di luar panggung, atau malah bisa jadi sinden itu akan dijadikan sebagai perempuan simpanan atau isteri kedua bajidor kaya itu, dengan dipenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Sinden sebagai pemikat utama para bajidor, sudah tentu harus tampil menarik. Untuk tampil menarik, ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seorang sinden. Munajar (2004: 153) mengatakan bahwa ada dua aspek yang harus dimiliki sinden, yaitu: aspek dasar dan aspek penunjang. Aspek dasar adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan modal suara, lagu dan rupa. Sedangkan aspek penunjang, adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan supranatural. Sudah tentu aspek pertama merupakan modal dasar harus dimiliki sinden, namun aspek kedua, walaupun dikatakan sebagai aspek penunjang, dianggap penting juga, sebab meskipun sinden telah memiliki aspek yang pertama, dia biasanya akan merasa gelisah dan menjadi kurang percaya diri jika belum melaksanakan aspek yang kedua. Apalagi di tengah persaingan dengan kemunculan sinden-sinden yang lebih muda, yang mungkin suatu saat akan menggantikan posisinya, para sinden biasanya akan menempuh secara penuh puasa, larangan-larangan, atau anjuran untuk tidur di kuburan keramat, sehingga ia merasa yakin bahwa penampilan dirinya di hadapan publik telah dibantu oleh kekuatan adi inderawi.
5. Sinden dan Kekuatan Supranatural
Dalam menjalani kehidupannya, manusia tidak selalu berhadapan dengan kepastian-kepastian yang dapat dihitung dan diprediksi dengan tepat, tapi juga kerap mengalami benturan pada “situasi-situasi batas”. Saat hitungan-hitungan tak lagi dapat diandalkan untuk mengkalkulasi langkahnya ke depan, maka ia akan cenderung pasrah, berserah diri pada Tuhan, atau mencoba “jalan alternatif”, meskipun hal itu dalam perspektif rasional-obyektif, dianggap absurd atau tidak masuk akal.
Dunia telah memasuki abad informasi, sebuah abad yang merefleksikan kepercayaan yang besar kepada akal pikiran. Akan tetapi, praktik-praktik kehidupan yang tampak irasional, naif, dan “primitif”, tetap saja berjalan, dan malah semakin banyak bermunculan, ibarat jamur di musim hujan, baik di kota-kota maupun di desa-desa, baik di negara-negara maju (Eropa Barat dan Amerika Utara), maupun di negara-negara miskin (Asia, Afrika, dan Amerika Latin).
Mengapa hal itu terjadi? Tak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah banyak memberikan manfaat bagi keberlangsungan kehidupan manusia, namun di samping itu ia pun meninggalkan kerusakan-kerusakan laten yang bisa meledakkan alam semesta. Keunggulan rasio manusia telah mampu memecahkan selubung-selubung misteri yang ada di alam semesta, namun secara bersamaan ketersingkapan itu pun memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang sangat membingungkan. Dunia menjadi paradoks. Di dalamnya tidak hanya terbagi antara “ini” dan “itu”, “benar” dan “salah”, “rasional” dan “irasional”, dan sebagainya, tapi juga ada daerah abu-abu yang tidak termasuk kedua-duanya, namun juga bagian dari kedua-duanya.
Sinden memasuki kehidupan yang paradoks seperti tersebut di atas. Ia tidak hanya cerminan dari suatu kalkulasi pasti mengenai kualitas suara, lagu atau rupa, tapi juga memancarkan suatu kegelisahan manusiawi yang menyadari “situasi-situasi batas”, situasi-situasi saat hitungan-hitungan itu menjadi tak berarti, karena rasio-obyektif (seperti gaya pemikiran dominan Barat) tak mampu lagi memetakannya. Itulah dunia mistik, supranatural, adi inderawi, atau apapun namanya.
Dengan memasuki dunia yang tidak terpetakan oleh rasio itu, sinden sebetulnya menyadari bahwa manusia memiliki ketidakstabilan tak terduga yang permanen. Bisa jadi hari ini, jam ini, atau detik ini, manusia mampu menampilkan kualitas lagu, suara dan rupa yang bagus, apakah pada hari selanjut, jam selanjut, atau detik selanjutnya, ia akan tetap berada dalam kondisi yang prima? Ketidakstabilan itu tentu saja perlu disingkirkan, dan sebenarnya tidak ada jawaban yang pasti untuk meniadakannya. Oleh karena itu, untuk menghilangkan menggelisahkan yang senantiasa muncul, maka sinden masuk ke dalam dunia yang tidak terpetakan tersebut, sebuah dunia yang telah dimunculkan oleh masyarakat tempat dirinya hadir dan hidup.
Sinden harus tampil menarik, memencarkan aura, dan dapat menumbuhkan keterpesonaan dalam diri yang memandangnya. Jika aspek dasarnya, atau aspek-aspek yang bisa diperhitungkan secara rasional, telah terpenuhi, maka ia harus masuk ke dalam dunia tak terpetakan, atau sebut saja dunia mistik, baik melalui bantuan orang lain (dukun) maupun melalui usaha sendiri. Dalam suatu wawancara dengan Buki Wikagu (peneliti), pada tanggal 2 Februai 2007, ada berbagai cara untuk mendapatkan kekuatan supranatural itu, seperti melalui tarekat, puasa, mengunji makam keramat, membaca mantera-mantera, memasang susuk dan sebagainya. Sebelum menjadi sinden yang mandiri, biasanya sinden-sinden muda menimba ilmu dulu pada sinden-sinden senior. Pada saat itulah para (calon) sinden itu mulai memasuki suatu proses ritual. Selanjutnya Buki mengatakan:
Selama dalam proses menimba ilmu (ngajontrot), seorang sinden harus melakukan puasa, membaca mantera-mantera, hingga tawajuh – yaitu upacara ritual sebagai tanda bahwa calon sinden telah lulus dari ngajontrot. Prosesi ritual tersebut dilakukan oleh seorang dukun, antara lain mandi kembang pada Jumat Kliwon bulan Maulud dilengkapi dengan sesaji atau persembahan serta pakaian lengkap, perhiasan, maupun peralatan kosmetik yang akan digunakan pada midang munggaran atau penampilan perdana.
Melakukan puasa, tarekat, ziarah kubur, pasang susuk, atau perilaku-perilaku lain dalam rangka memasuki dunia mistik, biasanya telah menjadi rahasia umum di antara sinden. Artinya, banyak di antara mereka tidak secara langsung mengakui pengalaman itu, tapi ada pula yang mengaku terus terang mengenainya. Seperti misalnya pengalaman Cicih Cangkurileung, yang dituturkan pada Buki Wikagu, mengatakan bahwa dalam proses menjadi sinden, memang tidak terlepas dari hal-hal yang bersinggungan dengan kekuatan supra-natural. Menurutnya, selain mengasah bakat, suara, wirahma, atau pun lagu, selama berguru menjadi sinden ia harus rajin melakukan puasa berdasarkan wedal (hari lahir) atau biasa disebut puasa weton, puasa senin-kamis. Selain itu, dengan bimbingan gurunya, ia juga melakukan latihan-latihan fisik supaya tahan angin dan tahan lapar. Bahkan, ada juga puasa teu bobo (tidak tidur) di hari kelahiran. Sedangkan mengenai dukungan kekuatan supra-natural (sering juga disebut ‘bumbu’), Cicih Cangkurileung mengungkapkan sebagai berikut :
Kalau penasaran, yang disebut bumbu itu memang ada, seperti mengunjungi makam-makam, memberi sesaji, juga memasang susuk. Tapi peneliti benar-benar tidak menggunakan yang seperti itu. Kalau ibu Cicih terkenal, bukan karena kekuatan susuk, tapi memang suaranya bagus, he..he..he...itu juga kata orang lain. Jadi, kalau mau terkenal, ya harus bagus nyanyinya. Peneliting, jaman sekarang kebanyakan bukan juru kawih tetapi juru kakawihan. Dunia kepesindenan terasa sudah rusak, asal jadi uang saja.
Dalam upaya memasukkan kekuatan mistik ke dalam tubuhnya, sinden biasanya akan datang ke dukun untuk meminta bantuan. Seorang dukun biasanya dipercaya karena memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan hal-hal yang gaib. Oleh karena itu, ia bisa diminta jasanya bukan hanya dalam penyembuhan penyakit, tapi juga untuk perjodohan, pelet, pasang susuk, meminta doa, isim, petunjuk untuk mutih, untuk berziarah, petunjuk untuk datang ke tempat-tempat tertentu, dan sebagainya.
Bila dukun telah memberikan petunjuk-petunjuk tertentu pada sinden agar dirinya bisa tetap memancarkan pengaruh dan wibawa yang besar pada orang lain, maka sinden akan melakukannya dengan sepenuh hati. Untuk mengetahui bagaimana tatacara itu dilakukan, biasanya dukun atau sinden tidak akan memberitahukannya, kecuali pada orang-orang yang telah dianggap sebagai orang dalam (in-group). Oleh karena itu biasanya informasi-informasi tentang mutih, ziarah kubur, atau pemasangan susuk, hanya dapat diperoleh dari tangan kedua. Berikut beberapa informasi tentang perilaku sinden yang berhubungan dengan dunia mistik (Munajar, 2004: 75-88).
a. Ziarah. Ada dua jenis ziarah terhadap kuburan keramat yang selalu dilakukan sinden: ziarah biasa dan ziarah nyepi. Ziarah biasa adalah kunjungan biasa ke kuburan orang-orang yang dihormati, seperti wali atau orang yang dianggap suci, yang dilakukan sinden dalam tempo yang singkat. Dalam kunjungan ini biasanya sinden mewakilkan pada kuncen (pemegang kunci kuburan) untuk doa dan segala persayaratan lainnya agar dirinya bisa selamat. Sedangkan untuk ziarah nyepi, sinden untuk beberapa lama, sesuai petunjuk dukun, tinggal di komplek kuburan yang dikunjunginya tersebut. Dalam ziarah nyepi itu, sinden biasanya melakukan beberapa persyaratan seperti sholat tahajud, zikir, puasa tidak tidur sehari semalam sesuai tanggal kelahiran dirinya, dan sebagainya.
b. Dzikir. Dalam melakukan zikir, biasanya mengambil ayat dari Alquran, sedangkan jumlah wiridnya tergantung pada petunjuk dukun. Hadiah wirid ditujukan untuk Nabi Muhamad; koramat kepada Syeh Abdul Qodir dan sahabat Abu Bakar, Usman, Ali, dan Husen, para wali, dan sebagainya, Kemudian diakhiri dengan doa selamat dan doa sapujagat. Lamanya dzikir tergantung niat, ada yang sampai 7 hari sambil puasa melek (tidak tidur) selama satu hari, berpuasa sesuai tanggal kelahiran. Zikir akan diakhiri jika ada ilham datang dalam mimpi melalui dukun. Bagi yang tidak kuat puasa dan sebagainya, biasanya sinden menyerahkan segalanya pada dukun, dia hanya membayar dengan jumlah uang yang tidak ditentukan.
c. Pemasangan susuk. Susuk biasanya ditanam pada bagian-bagian tubuh tertentu, seperti dagu,bibir, pinggul, mata, dan sebagainya. Gunanya untuk membuat orang menjadi tertarik dengan penampilannya. Linda, pimpinan Kliningan-bajidoran mengatakan, susuk juga digunakan untuk pengasihan, awet muda, dan kekebalan tubuh. Menurut Kawi (wawancara, tanggal 7 Februari), seorang seniman Tari, susuk itu bisa dari emas, perak, atau berlian. Bentuknya sebesar biji beras. Untuk pemasangan susuk biasanya dukun memasang tarif, dari harga seratus ribu rupiah sampai jutaan rupiah. Banyak orangtua sinden yang ingin melihat anaknya tampil sukses sebagai sinden, membawa anaknya ke dukun untuk dipasangkan susuk. Konon orang yang telah dipasang susuk sulit untuk meninggal dunia. Agar seseorang bisa dengan tenang meredgangkan nyawa, maka susuk yang dipakainya harus dilepaskan dulu. Untuk melepaskan susuk tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, ia harus dilakukan oleh ‘orang pintar’, atau dukun. Istilah susuk pun di Indonesia digunakan untuk pemasangan benda yang berhubungan dengan KB. Susuk ibarat operasi plastik untuk memancungkan hidung, atau cairan silikon untuk memperbesar payudara, pinggul, dan sebagainya. Jika operasi plastik dan cairan sislikon itu dilakukan oleh dokter yang memiliki sertifikat, maka susuk dipasangkan oleh para dukun yang memperoleh keahliannya tidak dari pendidikan formal. Susuk memang masih kontroversial, artinya ada yang percaya ada juga yang tidak. Namun ia terus eksis dalam dunia kehidupan kita yang konon kini telah memasuki abad informasi. Tengok saja jaringan internet. Meskipun internet merupakan gambaran dari hasil abad teknologi dan informasi canggih yang nota bene tidak memperdulikan dunia yang irasional, namun di dalamnya ada web-web yang menawarkan penyembuhan melalui tenaga-tenaga supranatural, termasuk pemasangan susuk. Internet, sekali lagi, menjadi gambaran manusia Indonesia yang paradoksal.
Ada istilah yang lebih umum untuk menyebut perilaku sinden kliningan-bajidoran dalam hubungannya dengan dunia mistik, yaitu pamake. Makna yang terkandung dalam istilah itu mungkin berarti pemakaian benda, perapalan doa, atau perilaku tertentu, yang disarankan oleh ‘orang pintar’, agar sinden bisa menarik, menjadi pusat perhatian penonton, dan dapat memancarkan aura. Tentu saja dengan menggunakan pamake itu maksudnya adalah agar para penonton (bajidor) , karena daya tarik yang dimiliki sinden, dengan suka rela menghambur-hamburkan uangnya. Beberapa informan mengatakan, seperti Buki, Munajar, atau Kawi, menyebutkan bahwa sinden yang memiliki pamake, walaupun dalam kehidupan sehari-hari sinden itu terlihat biasa-biasanya, namun ketika sudah di atas pentas, dia akan terlihat lain. Lebih menarik, memancarkan daya magnit yang bisa membuat tergetar hati yang memandangnya.
Menurut Munajar (2004: 164) pamake itu merupakan energi spiritual anutan sinden. Ada dua modus dalam mendekatainya, yaitu dengan memakai ilmu kebatin putih dan ilmu kebatinan hitam. Ilmu putih berkencenderungan membahagiakan orang, sedangkan yang hitam merugikan orang, namun cara pengisiannya sama, yaitu pengisian dengan kekuatan magis dari yang asal (gaib) sebagai solusi untuk menguatkan daya tarik dan karisma sinden.
Berdasarkan fungsinya, pamake dapat dikategorikan atas lima bagian: kinasihan, pangirutan, pangambaran, gendam, dan bungkeman. Kinasihan berfungsi sebagai daya tari, pangirutan untuk menarik hati supaya disayangi, pangambaran untuk mengeluarkan aura (sima), gendan merupakan ajian supaya dicintai, dan bungkeman berfungsi sebagai menutup mulut penonton karena terkesima oleh penampilan sinden.
Dalam metode menggunakan pamake, ternyata ada dua cara, yaitu dilakukan oleh diri sendiri, da dilakukan melalui perantara (dukun). Di Subang umumnya sinden menggunakan pamake lewat perantara, beberapa sinden senior lebih banyak melakukannya sendiri, karena telah paham tatacara melakukannya. Ketika pamake penerapannya dipasrahkan pada perantara, maka sang perantara (dukun) akan mengisi jimat dan alat-alat lainnya, seperti kosmetik, dengan doa-doa tertentu. Kadang-kadang untuk jimat yang dianggap keramat, seperti keris, dukun akan memandikannya dengan kembang tujuh rupa. Oleh sebab setiap alat telah diberi mantera oleh dukun, sinden tidak akan sembarangan memberikan pinjam alat-alat itu, seperti kosmetik misalnya, kepada orang lain.
6. Kesimpulan
Demikianlah beberapa hal masalah sekitar hubungan sinden kliningan-bajidoran dengan dunia mitis. Bagi beberapa orang yang melihatnya dari sudut yang berbeda, tentu perilaku serupa itu akan terlihat aneh, naif, atau malah dapat dikategorikan sebagai musyrik. Namun tampaknya, pemandangan yang terlampau “etnosentrisme” semacam itu sudah harus mulai ditinggalkan, karena bagaimana pun setiap orang akan memiliki suatu pendapat, pandangan, atau wawasan yang berbeda, sesuai dengan latar belakang budaya dan masyarakat tempat manusia itu hidup. Jika kita selalu menganggap bahwa pandangan kitalah yang paling benar, berarti kita telah memperlakukan kehidupan ini sebagai serangkaian dalil yang telah pasti. Padahal hidup itu hanyalah serangkaian asumsi yang diungkapkan lewat bahasa. Berkembangnya kehidupan bukan karena kita memiliki kepastian. Kepastian itu hanyalah sangkaan. Peradaban berkembang karena adanya sangkaan-sangkaan. Sangkaan-sangkaan yang diperbincangkan melalui sebuah dialog yang merayakan perbedaan. Oleh karena itu, mari kita menyangka, namun janganlah menyangka bahwa sangkaan kita adalah yang paling utama.***
Daftar Pustaka
Azwar, Azrul
2004 “Tubuh Sehat-Ideal dari Segi Kesehatan”. Makalah.Seminar Kesehatan Obsitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Caturwati, Endang
2006 Perempuan dan Ronggeng. Bandung: Pusat Kajian LBPB.
Foster, George M., Barbara Gallatin Anderson
1986 Antropologi Kesehatan. Terjemhana: Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI Press.
Munajar, Mas Nanu
2004 “Sinden Kabupaten Subang, Jawa Barat (Suatu Kajian Tentang Realiatas Ulang-Alik Kehidupan Sinden dalam-Timbal-Balik)”. Tesis. Yogyakarta: Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Program Pascasarjana UGM.
Narasumber:
1. Buki Wikagu, Dosen, Peneliti, Bajidor.
2. Mas Nanu Munajar, Dosen, Peneliti, Bajidor.
3. Kawi, Dosen, Seniman.
Blog ini berisi, terutama, tentang teater. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga berbicara seni secara umum, sastera, filsafat, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Hal ini disebabkan, saya, pembuat blog ini, memiliki minat yang luas terhadap berbagai bidang keilmuan. Untuk anda yang ingin menyalin tulisan saya,silakan dengan syarat menyebutkan sumber dan penulisnya. Terima kasih. Salam.
Rabu, 13 April 2011
Minggu, 03 April 2011
Seni dalam Bingkai Kebudayaan yang Berubah
Menurut Koentjaraningrat (Kebudayaan mentalitas dan Pembangunan, Cetakan Kesepuluh, 1983) ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap universal, artinya ada di berbagai ruang dan waktu di dunia, yaitu: sistem religi, sistem organisasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem matapencaharian, dan sistem teknologi dan peralatan hidup. Tata-urut itu dibuat sedemikian rupa untuk memperlihatkan bahwa yang disebutkan lebih awal adalah unsur kebudayaan yang lebih sulit berubah dibandingkan dengan yang lainnya. Kita tidak tahu apa yang dijadikan ukuran atau parameter yang dipakai penulisnya bahwa yang satu lebih gampang berubah di¬bandingkan yang lainnya, dan kita pun tidak tahu apakah sudah ada penelitian yang seksama terhadap unsur unsur kebudayaan itu sehing¬ga ia menjadi valid untuk menyebutkan bahwa unsur kebudayaan sistem pengetahuan suatu masyarakat, misalnya, lebih sulit diubah diban¬dingkan bahasa yang persis perada di bawahnya.
Begitu pula dengan penempatan kesenian sebelum sistem matapencaharian, sungguh sulit untuk dibuktikan bahwa sistem matapencaharian itu lebih gampang berubah daripada kesenian. Apalagi pada masa sekarang saat orang-orang tak lagi mudah memprediksi apa yang akan terjadi di masa depannya yang paling dekat dan beribu-ribu orang mengantri untuk menjadi pengganti seorang pekerja yang berhenti karena sulitnya mencari kerja. Bisa jadi penyusunan urut urutan itu berdasarkan pada kebudayaan masyarakat tradisional dengan komunitas yang kecil, spesialsasi pekerjaan yang belum terlalu rumit, serta sikap individualitas yang tidak terlalu mencuat kepermukaan. Dalam masyarakat serupa itu kesenian memang masih dimiliki bersama dan karena itu sulit untuk berubah. Para seniman pada umumnya masih patuh pada pakem pakem yang dianut bersama, sehingga pencipta¬an karya seni baru yang keluar dari pakem pakem seolah-olah tidak per¬nah terjadi.
Seorang pelukis Sangging Kamasan Bali, Nyoman Mandra, seperti yang pernah diungkapkan Umar Kayam (1981), adalah contoh sosok seniman tradisi yang setia terhadap pakem-pakem atau aturan-aturan yang telah ditetapkan tradisi (masyarakat). Ia hidup di sebuah desa (banjar) dengan masyarakat yang masih kuat memiliki rasa kebersamaan pada komunitas. Oleh sebab itu Nyoman Mandra senantiasa melukis dengan tema-tema yang sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari, tema yang juga diungkapkan oleh nenek moyang. Contoh lain bisa ditambahkan: dalang wayang kulit purwa dalam masyarakat Jawa saat kebersamaan masih jadi pegangan. Dalang dulu masih dianggap orang yang serba tahu , serta mampu melaku¬kan komunikasi dengan makhluk makhluk suprahuman. Karena itu, da¬lang di mata masyarakat tradisional Jawa merupakan orang yang da¬pat menjembatani antara dunia atas, dunia para susuhunan, dengan dunia bawah, yakni dunia yang dihuni manusia yang rentan terhadap guncangan guncangan. Maka agar tetap terjaga ketertiban ‘kosmos’ dalang lalu melakukan pertunjukan wayang, tentu saja setelah di¬minta masyarakat, dan masyarakat mendengarkan dan menyaksikan de¬ngan seksama pertunjukan tersebut sambil mencocokkan lagi sikap moral, akal dan estetiknya (van Groenendael, 1987).
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dalam masyarakat tradisional kesenian tak pernah berubah. Seketat apapun suatu aturan atau norma mengatur perilaku masyarakatnya, ia senantiasa memberikan semacam peluang kepada para anggotanya untuk mengatasinya. Kebudayaan tak pernah hanya berupa sisi yang telah mapan saja, ia pun memiliki sisi untuk diselewengkan. Dalam wayang kulit purwa, misalnya, walaupun seorang dalang diharapkan untuk menyajikan pertunjukan sesuai dengan konvensi, tapi dalam adegan-adegan tertentu, seperti adegan goro-goro, ia diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi. Mungkin kebebasan untuk melakukan improvisasi itu hanyalah sebuah “lubang kecil”, tapi justru karena memiliki kekontrasan dengan bagian-bagian lain yang begitu ketat bercermin pada aturan-aturan, ia menjadi lebih menonjol dan memiliki efek yang kuat.
Dalam karya sastra klasik seperti kakawin yang dianggap paling ketat kaidah dan normanya, contoh lain lagi, juga tidak berarti tak ada peluang untuk mentransendensi aturan-aturan tersebut. A. Teeuw (1983) memperlihatkan bahwa Negarakertagama, salah satu jenis sastra Jawa Kuno yang berbentuk kakawin yang diciptakan Mpu Prapanca, merupakan sebuah karya yang melakukan penyimpangan secara mencolok, sebab teks tersebut tidak bercerita tentang dewa dan pahlawan epos seperti lazimnya, tapi merupakan kisah keadaan kontemporer Majapahit, yakni perjalanan raja Hayam Wuruk ke ujung timur pulau Jawa.
Seni: Ketegangan antara Konvensi dan Inovasi
Tak syak lagi, sejarah seni memang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Apalagi pada masa kini saat manusia berada dalam dunia yang telah mengglobal, berada dalam batas-batas sosial-budaya yang mulai samar. “Dunia telah menjadi kampung besar”, ujar Marshall McLuhan. Manusia yang terlibat dalam peradaban dunia tak lagi bisa mengisolir diri untuk tidak bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan dari belahan dunia yang lain. Memang masih ada kelompok-kelompok kecil masyarakat yang bertahan dalam suasana dan kondisi budayanya yang “asli”, seperti misalnya masyarakat Kanekes (Baduy), tapi sampai kapan mereka dapat bertahan dari gempuran-gempuran modernisasi dan semangat globalisasi ini? Konon banyak anak-anak Kanekes sekarang yang menonton televisi di rumah-rumah penduduk luar di sekitar kampung mereka. Apakah ini pertanda bahwa sukubangsa Kanekes atau Baduy yang sekarang masih bertahan dengan budayanya secara ketat, dalam waktu kira-kira 25 hingga 50 tahun mendatang hanya akan menjadi cerita di dalam buku-buku saja?
Meskipun pengaruh dari luar bukan satu-satunya variabel yang menyebabkan ketegangan antara konvensi dan inovasi dalam kesenian, tapi ia memberikan dampak yang demikian mengejutkan bagi hadirnya jenis-jenis seni yang tampak tidak atau kurang “familier” dengan masyarakat tempat seniman menjadi salah satu anggotanya. Jelas bahwa masuknya kebudayaan berbeda pada kebudayaan lain, akan menyebabkan terjadinya penilaian kembali terhadap kebiasaan-kebiasaan yang semula dianggap biasa, dan pada gilirannya ini mengakibatkan timbulnya dua kemungkinan: atau lebih memperkuat kebiasaan-kebiasaan lama, atau justru sebaliknya, menggugat keabsahan kebiasaan-kebiasaan lama. Kalau kita berbicara tentang akibat yang kedua, maka dalam kesenian, gugatan itu terwujud dalam pemberontakan terhadap kebiasaan-kebiasaan mencipta karya seni yang telah dianggap lazim dan seolah-olah demikianlah seharusnya. Begitulah, dalam teater, misalnya, kebiasaan lama pertunjukan teater yang bertitik-tolak dari anggapan bahwa aktor merupakan media utama teater, telah menghadirkan suatu karya teater yang menonjol dengan akting, meminjam istilah Suyatna Anirun, “sedap dipandang mata” seperti tercermin dalam beberapa garapan STB; tapi hal ini kemudian digugat dengan memunculkan suatu anggapan yang berbeda: “sebatang lidi pun sama pentingnya dengan kehadiran aktor di atas pentas”. Jadi, ketika benda, bunyi, atau kesunyian sekali pun yang sengaja dihadirkan dalam suatu pertunjukan, ia tak lagi marginal, dan tak perlu disingkirkan atas nama “raja” di atas pentas (aktor), karena ia memiliki posisi yang sama. Pertunjukan teater yang bertitik-tolak dari anggapan berbeda ini tercermin dalam sebagian besar karya Teater SAE, terutama yang disutradarai oleh Boedi S. Otong, dan pada tahun 90-an yang lalu sempat menjamur dan menjadi semacam trend, meskipun kemudian surut kembali.
Seni, sebagai salah satu unsur kebudayaan, kini memperlihatkan perubahan-perubahan yang demikian cepat. Banyak seniman yang kiranya tidak lagi perduli dengan pranata-pratana yang semula menjadi anutan bersama. Saat kaidah-kaidah lama diberontaki, maka idealnya alternatif penggantinya diterima terlebih dulu oleh masyarakat, dan kemudian terbentuklah pranata baru yang akan menjadi pedoman mencipta atau juga menikmati karya seni. Namun kondisi semacam itu pada masa kini, terutama dalam kesenian, sungguh sulit tercipta. Para seniman tampak memiliki suatu kecenderungan pribadi yang tinggi. Selain sebagai seniman, mereka banyak yang menjadi ahli teori seni, dan secara sadar membebaskan diri dari sistem dan ikatan-ikatan konvensi. Sementara suatu hasil pemberontakan belum selesai diterima dan dipahami masyarakat, ia telah meloncat pada suatu pencaharian yang baru, atau malah telah diberontaki lagi oleh seniman lainnya. Kondisi ini jelas menyebabkan kemacetan komunikasi yang demikian parah. Kredo-kredo tentang seni banyak bermunculan, tapi ia tidak terlalu banyak membantu umtuk bisa menciptakan komunikasi yang efeketif, sebab ia muncul penuh dengan terminologi-terminologi subyektif. Kritikus seni yang semestinya menjadi komunikator kedua yang menjembatani kesenjangan antara karya seni dengan penikmatnya, tampak bingung dan tak berdaya. Bila biasanya mereka bisa mengkategorikan karya-karya seni dengan istilah-istilah seperti realisme, naturalisme, kubisme, absurditas, abstrak, ekspresionisme, dan sebagainya, untuk menandakan satu kecenderungan dilampaui oleh kecenderungan yang lainnya, kini kategori-kategori itu tampak menjadi kurang penting dan terasa artifisial. Begitu pula dengan istilah-istilah untuk menunjuk bahwa “ini” karya seni rupa dan “itu” karya teater, tari, musik, seni sastra , atau entah apa lagi, menjadi kabur karena batas-batas itu pun didobrak. Instalasi Tumbuh Tisna Sanjaya, misalnya, yang menjadikan Bandung, Surabaya, dan Solo sebagai galeri (atau panggung?)-nya, apakah ia karya rupa, teater, atau tari? Membingkai karya tersebut pada salah satu kategori kiranya kurang bermanfaat, sebab ia merupakan karya seni yang merembas pada berbagai pembatas.
Tentu saja betapa pun “gelap” atau “absurd” sebuah karya seni, tidak berarti ia tidak bisa diinterpretasikan sama sekali. Artinya, dalam komunikasi seni tak ada komunikasi yang macet secara total. Karya seni merupakan karya manusia yang hidup dalam sebuah ruang dan waktu yang telah di-‘jinak’-kan oleh tanda-tanda manusiawi, yaitu kebudayaan. Sebagai subyek manusia memiliki keunikan yang khas, dan sebagai makhluk sosial ia tak bisa lepas dari jaring-jaring makna yang ditenun secara bersama. Ketika subyektivitas seniman begitu menonjol dalam karyanya, sehingga ia terlihat begitu aneh, asing, atau membingungkan, biasanya penikmat mencoba untuk memahami atau menghubung-hubungkannya dengan sesuatu yang telah dikenalnya. Mungkin pemahamannya itu bisa tepat, kurang tepat, atau tampak begitu naif. Apapun hasil pemahamannya, komunikasi telah terjadi. Hanya saja, untuk sampai pada komunikasi yang efektif, pesan atau visi karya seni tertangkap oleh penikmat sesuai dengan maksud seniman, penikmat jelas harus bekerja keras, membongkar kembali perbendaharaan pengalamannya, dan membangun sebuah ‘freame’ yang cocok dengan semangat zaman.
Sepekan setelah peristiwa Nur Gora Rupa di Taman Budaya Solo, yakni sebuah ajang yang menampilkan karya-karya eksperimental dari berbagai kalangan seniman, dalam tajuk rencana koran Kompas dikupas tentang persoalan kritik seni. Inti tulisan itu adalah membahas masalah perlunya kritikus seni yang bersungguh-sungguh ditengah-tengah dinamika penciptaan karya-karya seni yang terlihat lepas dari ikatan-ikatan norma dan kaidah lama. Sesungguhnyalah kritikus tak bisa berkutat secara terus-menerus dengan asumsi-asumsi yang tampaknya sudah tidak cocok lagi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai orang yang mencoba menjembatani komunikasi antara penikmat dengan seniman, kritikus harus bisa mengikuti perkembangan. Saat ia berhadapan dengan jenis karya-karya seni yang dianggap menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan lama, ia tidak serta-merta mencapnya sebagai karya yang jelek, tidak bermutu, tapi berusaha untuk memahami: Mengapa karya seperti itu lahir? Latar belakang apa yang mendorong seniman menciptakan karya tersebut? Apa sebetulnya yang ingin diungkapkan seniman dengan melakukan hal itu? Karya seni tidak lahir setelah kritik, demikian sebuah pomeo yang pernah saya dengar. Artinya, bukan kritiklah yang memaksakan bahwa karya seni itu harus ‘begini’ atau ‘begitu’, tapi karya senilah yang menentukan bagaimana kritik semestinya memandang. Penikmatan seni memang persoalan selera, namun ketika seseorang bertindak sebagai kritikus, maka agar penilaiannya bisa “obyektif”, ia tidak bisa bertolak dari kriteria suka atau tidak suka.
Kehadiran seni-seni yang dianggap menyimpang memang awalnya selalu dicurigai. Ketidakwajaran, “kekusutan” dan keanehan yang ditampilkannya mengganggu keteraturan-keteraturan yang telah berjalan dengan lancar. Ia begitu “menakutkan” sebab ia belum begitu akrab dengan situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya. Karena itu, seni yang menyimpang selalu diusahakan oleh orang-orang yang berkepentingan dengan keutuhan status quo untuk tetap marjinal. Pembingkaian dengan stigma-stigma seperti “pelarian”, “jeprut”, “kekanak-kanakkan” dan sebagainya, merupakan salah satu upaya untuk meredam keliarannya, sehingga dengan begitu diharapkan ia tidak merembes ke wilayah yang dianggap normal.
Namun, seperti sudah dilihat, perembesan itu tetap saja terjadi. Dengan berbagai stretegi, para seniman yang dianggap menyimpang berusaha hadir di tengah-tengah keseharian yang normal dan biasa. Misalnya, ditengah-tengah hingar bingar kesibukan orang-orang berbelanja, seorang seniman, Iman Soleh, mengejar-ngejar uang yang tergantung di depan wajahnya. Dunia yang semula dibangun dengan tertib sebagai ajang transaksi antara penjual dan pembeli, tiba-tiba diruntuhkan oleh peristiwa yang “aneh”. Atau peristiwa yang lebih anarkis terjadi di Eropa (Perancis), saat gerakan dada baru diproklamirkan: Di tengah-tengah pertunjukan teater yang serius, tiba-tiba seorang seniman dada menerobos ke atas pentas, kemudian berteriak: “Viva dada!” (Sukito, tt). Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sangat mencolok, sebab ia timbul di tengah-tengah keteraturan; dan dengan demikian ia menjadi perhatian orang-orang yang hadir yang terhenyak seketika karena keteraturan yang tengah dijalaninya, tiba-tiba diinterupsi oleh hal-hal yang “tidak normal”.
Pendidikan Seni dan Perubahan
Ada hal yang perlu direnungkan oleh institusi pendidikan seni, seperti STSI Bandung atau FSRD ITB misalnya, yakni kalau kehidupan kesenian senantiasa berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi, apakah kurikulum yang selama ini dipakai sebagai suatu kebijaksanaan pengajaran telah mampu mengakomodir dinamika perkembangan seni di luar tembok kampus atau sekolah? Ilmu seni adalah seperangkat sistem atau dalil yang lahir dari hasil pengkajian terhadap gejala-gejala kesenian yang telah muncul sebelumnya. Namun tidak berarti ilmu tersebut madeg sampai di situ. Bila kita percaya bahwa kesenian itu berkembang, maka ilmu seni pun harus berkembang. Oleh karena itu, sebuah kurikulum, agar bisa menghasilkan output yang mampu survive di tengah-tengah gempuran perubahan, ia semestinya selalu ditinjau-ulang, disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Demikian pula dengan sikap pendidik, ia tidak bisa berhenti mengkaji dan menimbang ilmu-ilmu yang dimilikinya, atau bersikap normatif dan tidak mentolerir mahasiswanya yang terlihat “aneh” atau “nyeleneh” dalam berkarya seni. Kebudayaan senantiasa berubah, demikian pula dengan kesenian sebagai salah satu unsurnya. Ketika sang pendidik berkutat pada suatu posisi yang statis dan tak mau perduli dengan yang terjadi di sekelilingnya, maka ia menjadi penindas kreativitas.***
Daftar Pustaka
Kayam, Umar
1981 Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan
Koentjaraningrat
1983 Kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. (Cet. Ke-10) Jakrata: Gramedia
Kompas
1994 “Semakin Diperlukan, Kritik Seni yang Bersungguh-sungguh”. 23 April. Jakarta
Sukito, Wiratmo
Tt “Diktat Apresiasi Drama Hendrik Ibsen sampai Antonin Artaud”. Jakarta: IKJ
Teeuw, A.
1983 Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia
van Groenendael, Clara
1987 Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Grafitipers
Begitu pula dengan penempatan kesenian sebelum sistem matapencaharian, sungguh sulit untuk dibuktikan bahwa sistem matapencaharian itu lebih gampang berubah daripada kesenian. Apalagi pada masa sekarang saat orang-orang tak lagi mudah memprediksi apa yang akan terjadi di masa depannya yang paling dekat dan beribu-ribu orang mengantri untuk menjadi pengganti seorang pekerja yang berhenti karena sulitnya mencari kerja. Bisa jadi penyusunan urut urutan itu berdasarkan pada kebudayaan masyarakat tradisional dengan komunitas yang kecil, spesialsasi pekerjaan yang belum terlalu rumit, serta sikap individualitas yang tidak terlalu mencuat kepermukaan. Dalam masyarakat serupa itu kesenian memang masih dimiliki bersama dan karena itu sulit untuk berubah. Para seniman pada umumnya masih patuh pada pakem pakem yang dianut bersama, sehingga pencipta¬an karya seni baru yang keluar dari pakem pakem seolah-olah tidak per¬nah terjadi.
Seorang pelukis Sangging Kamasan Bali, Nyoman Mandra, seperti yang pernah diungkapkan Umar Kayam (1981), adalah contoh sosok seniman tradisi yang setia terhadap pakem-pakem atau aturan-aturan yang telah ditetapkan tradisi (masyarakat). Ia hidup di sebuah desa (banjar) dengan masyarakat yang masih kuat memiliki rasa kebersamaan pada komunitas. Oleh sebab itu Nyoman Mandra senantiasa melukis dengan tema-tema yang sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari, tema yang juga diungkapkan oleh nenek moyang. Contoh lain bisa ditambahkan: dalang wayang kulit purwa dalam masyarakat Jawa saat kebersamaan masih jadi pegangan. Dalang dulu masih dianggap orang yang serba tahu , serta mampu melaku¬kan komunikasi dengan makhluk makhluk suprahuman. Karena itu, da¬lang di mata masyarakat tradisional Jawa merupakan orang yang da¬pat menjembatani antara dunia atas, dunia para susuhunan, dengan dunia bawah, yakni dunia yang dihuni manusia yang rentan terhadap guncangan guncangan. Maka agar tetap terjaga ketertiban ‘kosmos’ dalang lalu melakukan pertunjukan wayang, tentu saja setelah di¬minta masyarakat, dan masyarakat mendengarkan dan menyaksikan de¬ngan seksama pertunjukan tersebut sambil mencocokkan lagi sikap moral, akal dan estetiknya (van Groenendael, 1987).
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dalam masyarakat tradisional kesenian tak pernah berubah. Seketat apapun suatu aturan atau norma mengatur perilaku masyarakatnya, ia senantiasa memberikan semacam peluang kepada para anggotanya untuk mengatasinya. Kebudayaan tak pernah hanya berupa sisi yang telah mapan saja, ia pun memiliki sisi untuk diselewengkan. Dalam wayang kulit purwa, misalnya, walaupun seorang dalang diharapkan untuk menyajikan pertunjukan sesuai dengan konvensi, tapi dalam adegan-adegan tertentu, seperti adegan goro-goro, ia diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi. Mungkin kebebasan untuk melakukan improvisasi itu hanyalah sebuah “lubang kecil”, tapi justru karena memiliki kekontrasan dengan bagian-bagian lain yang begitu ketat bercermin pada aturan-aturan, ia menjadi lebih menonjol dan memiliki efek yang kuat.
Dalam karya sastra klasik seperti kakawin yang dianggap paling ketat kaidah dan normanya, contoh lain lagi, juga tidak berarti tak ada peluang untuk mentransendensi aturan-aturan tersebut. A. Teeuw (1983) memperlihatkan bahwa Negarakertagama, salah satu jenis sastra Jawa Kuno yang berbentuk kakawin yang diciptakan Mpu Prapanca, merupakan sebuah karya yang melakukan penyimpangan secara mencolok, sebab teks tersebut tidak bercerita tentang dewa dan pahlawan epos seperti lazimnya, tapi merupakan kisah keadaan kontemporer Majapahit, yakni perjalanan raja Hayam Wuruk ke ujung timur pulau Jawa.
Seni: Ketegangan antara Konvensi dan Inovasi
Tak syak lagi, sejarah seni memang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Apalagi pada masa kini saat manusia berada dalam dunia yang telah mengglobal, berada dalam batas-batas sosial-budaya yang mulai samar. “Dunia telah menjadi kampung besar”, ujar Marshall McLuhan. Manusia yang terlibat dalam peradaban dunia tak lagi bisa mengisolir diri untuk tidak bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan dari belahan dunia yang lain. Memang masih ada kelompok-kelompok kecil masyarakat yang bertahan dalam suasana dan kondisi budayanya yang “asli”, seperti misalnya masyarakat Kanekes (Baduy), tapi sampai kapan mereka dapat bertahan dari gempuran-gempuran modernisasi dan semangat globalisasi ini? Konon banyak anak-anak Kanekes sekarang yang menonton televisi di rumah-rumah penduduk luar di sekitar kampung mereka. Apakah ini pertanda bahwa sukubangsa Kanekes atau Baduy yang sekarang masih bertahan dengan budayanya secara ketat, dalam waktu kira-kira 25 hingga 50 tahun mendatang hanya akan menjadi cerita di dalam buku-buku saja?
Meskipun pengaruh dari luar bukan satu-satunya variabel yang menyebabkan ketegangan antara konvensi dan inovasi dalam kesenian, tapi ia memberikan dampak yang demikian mengejutkan bagi hadirnya jenis-jenis seni yang tampak tidak atau kurang “familier” dengan masyarakat tempat seniman menjadi salah satu anggotanya. Jelas bahwa masuknya kebudayaan berbeda pada kebudayaan lain, akan menyebabkan terjadinya penilaian kembali terhadap kebiasaan-kebiasaan yang semula dianggap biasa, dan pada gilirannya ini mengakibatkan timbulnya dua kemungkinan: atau lebih memperkuat kebiasaan-kebiasaan lama, atau justru sebaliknya, menggugat keabsahan kebiasaan-kebiasaan lama. Kalau kita berbicara tentang akibat yang kedua, maka dalam kesenian, gugatan itu terwujud dalam pemberontakan terhadap kebiasaan-kebiasaan mencipta karya seni yang telah dianggap lazim dan seolah-olah demikianlah seharusnya. Begitulah, dalam teater, misalnya, kebiasaan lama pertunjukan teater yang bertitik-tolak dari anggapan bahwa aktor merupakan media utama teater, telah menghadirkan suatu karya teater yang menonjol dengan akting, meminjam istilah Suyatna Anirun, “sedap dipandang mata” seperti tercermin dalam beberapa garapan STB; tapi hal ini kemudian digugat dengan memunculkan suatu anggapan yang berbeda: “sebatang lidi pun sama pentingnya dengan kehadiran aktor di atas pentas”. Jadi, ketika benda, bunyi, atau kesunyian sekali pun yang sengaja dihadirkan dalam suatu pertunjukan, ia tak lagi marginal, dan tak perlu disingkirkan atas nama “raja” di atas pentas (aktor), karena ia memiliki posisi yang sama. Pertunjukan teater yang bertitik-tolak dari anggapan berbeda ini tercermin dalam sebagian besar karya Teater SAE, terutama yang disutradarai oleh Boedi S. Otong, dan pada tahun 90-an yang lalu sempat menjamur dan menjadi semacam trend, meskipun kemudian surut kembali.
Seni, sebagai salah satu unsur kebudayaan, kini memperlihatkan perubahan-perubahan yang demikian cepat. Banyak seniman yang kiranya tidak lagi perduli dengan pranata-pratana yang semula menjadi anutan bersama. Saat kaidah-kaidah lama diberontaki, maka idealnya alternatif penggantinya diterima terlebih dulu oleh masyarakat, dan kemudian terbentuklah pranata baru yang akan menjadi pedoman mencipta atau juga menikmati karya seni. Namun kondisi semacam itu pada masa kini, terutama dalam kesenian, sungguh sulit tercipta. Para seniman tampak memiliki suatu kecenderungan pribadi yang tinggi. Selain sebagai seniman, mereka banyak yang menjadi ahli teori seni, dan secara sadar membebaskan diri dari sistem dan ikatan-ikatan konvensi. Sementara suatu hasil pemberontakan belum selesai diterima dan dipahami masyarakat, ia telah meloncat pada suatu pencaharian yang baru, atau malah telah diberontaki lagi oleh seniman lainnya. Kondisi ini jelas menyebabkan kemacetan komunikasi yang demikian parah. Kredo-kredo tentang seni banyak bermunculan, tapi ia tidak terlalu banyak membantu umtuk bisa menciptakan komunikasi yang efeketif, sebab ia muncul penuh dengan terminologi-terminologi subyektif. Kritikus seni yang semestinya menjadi komunikator kedua yang menjembatani kesenjangan antara karya seni dengan penikmatnya, tampak bingung dan tak berdaya. Bila biasanya mereka bisa mengkategorikan karya-karya seni dengan istilah-istilah seperti realisme, naturalisme, kubisme, absurditas, abstrak, ekspresionisme, dan sebagainya, untuk menandakan satu kecenderungan dilampaui oleh kecenderungan yang lainnya, kini kategori-kategori itu tampak menjadi kurang penting dan terasa artifisial. Begitu pula dengan istilah-istilah untuk menunjuk bahwa “ini” karya seni rupa dan “itu” karya teater, tari, musik, seni sastra , atau entah apa lagi, menjadi kabur karena batas-batas itu pun didobrak. Instalasi Tumbuh Tisna Sanjaya, misalnya, yang menjadikan Bandung, Surabaya, dan Solo sebagai galeri (atau panggung?)-nya, apakah ia karya rupa, teater, atau tari? Membingkai karya tersebut pada salah satu kategori kiranya kurang bermanfaat, sebab ia merupakan karya seni yang merembas pada berbagai pembatas.
Tentu saja betapa pun “gelap” atau “absurd” sebuah karya seni, tidak berarti ia tidak bisa diinterpretasikan sama sekali. Artinya, dalam komunikasi seni tak ada komunikasi yang macet secara total. Karya seni merupakan karya manusia yang hidup dalam sebuah ruang dan waktu yang telah di-‘jinak’-kan oleh tanda-tanda manusiawi, yaitu kebudayaan. Sebagai subyek manusia memiliki keunikan yang khas, dan sebagai makhluk sosial ia tak bisa lepas dari jaring-jaring makna yang ditenun secara bersama. Ketika subyektivitas seniman begitu menonjol dalam karyanya, sehingga ia terlihat begitu aneh, asing, atau membingungkan, biasanya penikmat mencoba untuk memahami atau menghubung-hubungkannya dengan sesuatu yang telah dikenalnya. Mungkin pemahamannya itu bisa tepat, kurang tepat, atau tampak begitu naif. Apapun hasil pemahamannya, komunikasi telah terjadi. Hanya saja, untuk sampai pada komunikasi yang efektif, pesan atau visi karya seni tertangkap oleh penikmat sesuai dengan maksud seniman, penikmat jelas harus bekerja keras, membongkar kembali perbendaharaan pengalamannya, dan membangun sebuah ‘freame’ yang cocok dengan semangat zaman.
Sepekan setelah peristiwa Nur Gora Rupa di Taman Budaya Solo, yakni sebuah ajang yang menampilkan karya-karya eksperimental dari berbagai kalangan seniman, dalam tajuk rencana koran Kompas dikupas tentang persoalan kritik seni. Inti tulisan itu adalah membahas masalah perlunya kritikus seni yang bersungguh-sungguh ditengah-tengah dinamika penciptaan karya-karya seni yang terlihat lepas dari ikatan-ikatan norma dan kaidah lama. Sesungguhnyalah kritikus tak bisa berkutat secara terus-menerus dengan asumsi-asumsi yang tampaknya sudah tidak cocok lagi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai orang yang mencoba menjembatani komunikasi antara penikmat dengan seniman, kritikus harus bisa mengikuti perkembangan. Saat ia berhadapan dengan jenis karya-karya seni yang dianggap menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan lama, ia tidak serta-merta mencapnya sebagai karya yang jelek, tidak bermutu, tapi berusaha untuk memahami: Mengapa karya seperti itu lahir? Latar belakang apa yang mendorong seniman menciptakan karya tersebut? Apa sebetulnya yang ingin diungkapkan seniman dengan melakukan hal itu? Karya seni tidak lahir setelah kritik, demikian sebuah pomeo yang pernah saya dengar. Artinya, bukan kritiklah yang memaksakan bahwa karya seni itu harus ‘begini’ atau ‘begitu’, tapi karya senilah yang menentukan bagaimana kritik semestinya memandang. Penikmatan seni memang persoalan selera, namun ketika seseorang bertindak sebagai kritikus, maka agar penilaiannya bisa “obyektif”, ia tidak bisa bertolak dari kriteria suka atau tidak suka.
Kehadiran seni-seni yang dianggap menyimpang memang awalnya selalu dicurigai. Ketidakwajaran, “kekusutan” dan keanehan yang ditampilkannya mengganggu keteraturan-keteraturan yang telah berjalan dengan lancar. Ia begitu “menakutkan” sebab ia belum begitu akrab dengan situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya. Karena itu, seni yang menyimpang selalu diusahakan oleh orang-orang yang berkepentingan dengan keutuhan status quo untuk tetap marjinal. Pembingkaian dengan stigma-stigma seperti “pelarian”, “jeprut”, “kekanak-kanakkan” dan sebagainya, merupakan salah satu upaya untuk meredam keliarannya, sehingga dengan begitu diharapkan ia tidak merembes ke wilayah yang dianggap normal.
Namun, seperti sudah dilihat, perembesan itu tetap saja terjadi. Dengan berbagai stretegi, para seniman yang dianggap menyimpang berusaha hadir di tengah-tengah keseharian yang normal dan biasa. Misalnya, ditengah-tengah hingar bingar kesibukan orang-orang berbelanja, seorang seniman, Iman Soleh, mengejar-ngejar uang yang tergantung di depan wajahnya. Dunia yang semula dibangun dengan tertib sebagai ajang transaksi antara penjual dan pembeli, tiba-tiba diruntuhkan oleh peristiwa yang “aneh”. Atau peristiwa yang lebih anarkis terjadi di Eropa (Perancis), saat gerakan dada baru diproklamirkan: Di tengah-tengah pertunjukan teater yang serius, tiba-tiba seorang seniman dada menerobos ke atas pentas, kemudian berteriak: “Viva dada!” (Sukito, tt). Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sangat mencolok, sebab ia timbul di tengah-tengah keteraturan; dan dengan demikian ia menjadi perhatian orang-orang yang hadir yang terhenyak seketika karena keteraturan yang tengah dijalaninya, tiba-tiba diinterupsi oleh hal-hal yang “tidak normal”.
Pendidikan Seni dan Perubahan
Ada hal yang perlu direnungkan oleh institusi pendidikan seni, seperti STSI Bandung atau FSRD ITB misalnya, yakni kalau kehidupan kesenian senantiasa berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi, apakah kurikulum yang selama ini dipakai sebagai suatu kebijaksanaan pengajaran telah mampu mengakomodir dinamika perkembangan seni di luar tembok kampus atau sekolah? Ilmu seni adalah seperangkat sistem atau dalil yang lahir dari hasil pengkajian terhadap gejala-gejala kesenian yang telah muncul sebelumnya. Namun tidak berarti ilmu tersebut madeg sampai di situ. Bila kita percaya bahwa kesenian itu berkembang, maka ilmu seni pun harus berkembang. Oleh karena itu, sebuah kurikulum, agar bisa menghasilkan output yang mampu survive di tengah-tengah gempuran perubahan, ia semestinya selalu ditinjau-ulang, disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Demikian pula dengan sikap pendidik, ia tidak bisa berhenti mengkaji dan menimbang ilmu-ilmu yang dimilikinya, atau bersikap normatif dan tidak mentolerir mahasiswanya yang terlihat “aneh” atau “nyeleneh” dalam berkarya seni. Kebudayaan senantiasa berubah, demikian pula dengan kesenian sebagai salah satu unsurnya. Ketika sang pendidik berkutat pada suatu posisi yang statis dan tak mau perduli dengan yang terjadi di sekelilingnya, maka ia menjadi penindas kreativitas.***
Daftar Pustaka
Kayam, Umar
1981 Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan
Koentjaraningrat
1983 Kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. (Cet. Ke-10) Jakrata: Gramedia
Kompas
1994 “Semakin Diperlukan, Kritik Seni yang Bersungguh-sungguh”. 23 April. Jakarta
Sukito, Wiratmo
Tt “Diktat Apresiasi Drama Hendrik Ibsen sampai Antonin Artaud”. Jakarta: IKJ
Teeuw, A.
1983 Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia
van Groenendael, Clara
1987 Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Grafitipers
Senin, 07 Februari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)