Cari Blog Ini

Blog ini berisi, terutama, tentang teater. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga berbicara seni secara umum, sastera, filsafat, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Hal ini disebabkan, saya, pembuat blog ini, memiliki minat yang luas terhadap berbagai bidang keilmuan. Untuk anda yang ingin menyalin tulisan saya,silakan dengan syarat menyebutkan sumber dan penulisnya. Terima kasih. Salam.

Teater Perempuan


Representasi Perempuan dalam Pertunjukan Teater Indonesia

(Sebuah Pendekatan Semiotik)


Abstrak


Tulisan ini mengkaji tentang bagaimana perempuan direpresentasikan oleh tiga sutradara perempuan, yakni pertunjukan “Konde yang Terburai” dengan sutradara Yudiaryani, “Malam Terakhir” sutradara Yanni Mae. Dan “Alia, Luka Serambi” sutradara Ratna Sarumpaet.  Dengan menggunakan pendekatan semiotik dari Barthes, akhirnya ditemukan, kecuali pada Ratna Sarumpaet, bahwa pada kedua sutradara perempuan yang lainnya, mereka masih terjebak dalam  asumsi-asumsi patriarkal yang sebetulnya merugikan posisi perempuan. Sedangkan dalam pertunjukan Ratna Sarumpaet, meskipun ia telah berhasil melepaskan dari asumsi-asumsi yang seksis, namun ia terjebak pada stereotip-stereotip yang lain, yakni: bahwa laki-laki pada dasarnya tidak ada yang baik, ia cenderung korup jika telah memiliki kekuasaan.

Kata-kata Kunci: Representasi, perempuan, pertunjukan teater, patriarkat  


1. Pendahuluan

Sebagai hasil dari kreativitas, seni merupakan hasil individu seniman yang menciptakannya, tapi sebagai suatu kategori, sesuatu dikatakan seni karena ada kesepakatan bersama antaranggota masyarakat. Seni tak pernah seutuhnya menyuarakan suara masyarakat, atau juga suara individu yang terlepas dari lingkungan sekitarnya. Seni berada di titik antara kondisi sosial dan individual.
Jadi dalam pandangan serupa itu, seniman merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Artinya, baik disadari mapun tidak disadari, meskipun seorang seniman itu pribadi yang unik, tapi dalam karya-karya seninya, senantiasa akan ada “suara-suara”  masyarakat di sekitarnya. Seniman merupakan makhluk historis, berada dalam ruang dan waktu tertentu. Ia tidak bebas nilai. Bisa jadi aspek individualnya tergerak untuk ke luar dari kungkungan kebersamaan, dari pakem-pakem konvensi yang kaku, tapi untuk bisa keluar seperti itu ia tidak bisa “ujug-ujug”, ia harus terlebih dulu bergaul dengan sesamanya, ia harus terlebih dulu mengalami proses sosialisasi dari orang-orang yang ada di sekitarnya, sampai akhirnya nilai-nilai masyarakat tertanam, atau terinternalisasi di dalam dirinya.
            Begitupun dengan teater[1], ia merupakan produk manusia yang juga mencerminkan nilai, kepercayaan, atau harapan-harapan masyarakatnya. Pertunjukan teater, seperti halnya kesenian-kesenian lainnya, biasanya adalah reaksi para seniman sebagai makhluk individual terhadap lingkungan di sekitarnya.  Akan tetapi, bila individu itu dikatakan unik,  tumbuh dan berkembangnya berada dalam ruang dan waktu yang telah dimaknai oleh budaya, oleh nilai-nilai yang dianut dan didukung oleh suatu masyarakat.  Oleh sebab itu, suatu transendensi terhadap aturan atau konvensi masyarakat yang dilakukan secara individual, tak akan pernah lepas dari kepercayaan-kepercayaan bersama yang telah terinternalisasi di dalam pribadi orang yang melakukannya.
            Hampir seluruh aspek kehidupan ditandai oleh kebudayaan. Penandaan itu dilakukan agar hidup bisa ditafsirkan dan dijalani dengan relatif mudah. Bila ada sesuatu yang dianggap baru, biasanya masyarakat melakukan penandaan sehingga hal tersebut bisa luluh menjadi bagian kebudayaan. Penandaan terhadap sesuatu umumnya terjadi lewat bahasa. Sesuatu harus bisa dibahasakan, jika tidak, maka ia akan menjadi makhluk asing yang mengerikan dan dianggap bisa mengancam kehidupan.  Melalui bahasa yang bisa dimanifestasikan menjadi perilaku dan bisa pula menjadi wujud material, kebudayaan diwariskan kepada anak cucu. Anak-anak diajar berbicara, diperkenalkan kepada sesuatu melalui berbagai institusi, baik yang  resmi maupun tidak resmi, diberitahu tentang yang boleh dan yang tidak boleh, diperkenalkan pula kepada peran-peran beserta “job description”-nya, bagaimana seorang anak berperilaku, sikap apa yang harus diperlihatkan oleh seorang guru atau ayah, hal-hal apa saja yang boleh dilakukan oleh perempuan, dan hal apa pula yang pantas dilakukan oleh laki-laki.
Pada saat segala sesuatu yang ditemukan atau dirasakan dalam kehidupan dibahasakan, berarti terjadi suatu pengkategorian, yakni upaya penyederhanaan dan penyusunan terhadap segala sesuatu yang awalnya terlihat kacau dan tak berbentuk, menjadi dapat dibaca. Melalui kategorisasi kekacauan kehidupan diluluhkan menjadi harmoni yang nyaman.  Pun, kategorisasi bisa dikatakan pula sebagai bentuk penguasaan.
Perempuan-laki-laki merupakan suatu bentuk kategorisasi. Ketika satu manusia dikategorikan sebagai laki-laki dan yang lain perempuan, tentu pembagian itu didasarkan pada persamaan dan perbedaan yang ada di antara kedua makhluk tersebut. Yang jelas, bahwa kemudian ada orang yang bernama laki-laki dan yang lainnya perempuan, karena di antara keduanya ada perbedaan dalam bentuk fisik. Akan tetapi, banyak orang melihat bahwa pembagian dua jenis kelamin tersebut tidak hanya sebatas itu, namun juga ada perbedaan dalam masalah sikap, perasaan, kekuatan dan etos kerja. Laki-laki dikatakan lebih kuat, lebih rasional, dan sangat simpel dalam berpikir; sedangkan perempuan itu lemah, terlalu banyak memakai perasaan, dan terlalu berbelit-belit dalam berpikir. Laki-laki lebih luas cakrawala berpikirnya, perempuan lebih sempit; laki-laki petualang, perempuan pendiam; laki-laki mencari uang, perempuan memasak dan mengurus anak; laki-laki kepala keluarga, perempuan pengurus rumahtangga; dan sebagainya.
Konsep perempuan dan laki-laki seperti di atas sudah menjadi pengetahuan umum, bahkan menurut Ortner seperti yang dikutip Moore (1998: 30) menjadi pengetahuan universal, artinya ada dan diyakini kebenarannya hampir di seluruh dunia. Kenyataan serupa itu bukan berarti membenarkan bahwa kenyataannya memang demikian, tapi lebih menjelaskan bahwa perbedaan biologis itu telah ditafsirkan secara kultural menjadi pengetahuan yang dianggap benar. 
Jika kita memahami bahwa suatu kategori itu merupakan bahasa, maka di dalamnya ada penafsiran. Yang menjadi masalah: penafsiran siapa? Tentu orang memiliki kekuasaan. Konon perempuan merupakan makhluk yang selalu dinormorduakan. Dalam bahasa Simone de Beauvoir dinyatakan bahwa perempuan itu senantiasa diposisikan sebagai the second sex atau being for others (ada untuk orang lain).  Lalu siapa orang lain itu? Jawabnya sudah pasti: laki-laki. Jadi, yang menafsirkan perempuan sebagai nomor dua adalah laki-laki, karena dialah yang memiliki kekuasaan. Karena konstruksi tersebut ditanam secara terus-menerus, bahkan dari abad ke abad, dengan berbagai bentuk, perempuan pun, jenis yang telah dinomorduakan itu, merasakan bahwa kehadirannya di dunia hanya sebagai pelengkap laki-laki, makhluk lemah yang perlu dilindungi. Perempuan meng-“iya”-kan pembenaran secara budaya itu sebagai sesuatu yang terberi, kodrat, atau natur.
Seni, sebagai hasil budaya, merupakan salah satu ‘alat’ untuk menyampaikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Ketika dalam suatu masyarakat perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, subordinasi dari laki-laki, maka kemungkinan besar para seniman pun dalam karya-karyanya akan menyuarakan hal yang sama, baik secara disadari maupun tidak. Gadis Arivia (2003: 4) saat berbicara mengenai sastra perempuan menyebutkan bahwa karya sastra (seni) umumnya turut membentuk kepercayaan mengenai perempuan.
Apakah teater sebagai salah satu jenis kesenian juga telah menjadi ‘alat’ dominasi lelaki terhadap perempuan? Apalagi bila melihat kenyataan bahwa dari semenjak lahir, yakni sekitar tahun 1891 (Sumardjo, 2004: 102), hingga sekarang, sutradara teater modern Indonesia lebih banyak didominasi oleh laki-laki. Beberapa nama perempuan telah muncul seperti Ratna Sarumpaet, dan Jajang C. Noer, Ratna Riantiarno atau Yudiaryani, namun jika kita bandingkan dengan kehadiran sutradara laki-laki,  hitungan itu tidaklah begitu signifikan. Apakah kenyataan serupa ini diakibatkan oleh lemahnya perempuan dalam bersaing, atau justru ada kondisi yang sengaja dibuat sehingga perempuan tetap dijaga untuk terus berada di bawah bayang-bayang laki-laki?
Kenyataan seperti itu mendorong penulis untuk mencari informasi lebih banyak mengenai perempuan dalam dunia teater, terutama representasi sosoknya dalam pertunjukan-pertunjukan teater. Penulis akan meneliti, terutama bukan bagaimana sutradara laki-laki melakukan representasi terhadap perempuan, tapi bagaimana sutradara perempuan menggambarkan sosoknya yang telah dikonstruksi sebagai nomor dua tersebut dalam pertunjukan-pertunjukan teater yang telah disutradarainya.
            Dalam penelitian ini hanya tiga pertunjukan teater dari tiga grup atau kelompok teater yang akan diteliti, yakni “Konde yang Terburai” karya Dwi Rahayuningsih produksi Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta dengan sutradara Yudiaryani, “Malam Terakhir” Karya Yukio Mishima produksi Woman Community Bandung dengan sutradara Yanni Mae,  dan “Alia, Luka Serambi Mekah” karya dan sutradara Ratna Sarumpaet produksi Satu Merah Panggung Jakarta.
            Judul penelitian ini adalah Representasi Perempuan dalam Pertunjukan Teater Indonesia (Sebuah Pendekatan Semiotik). Konsep pertama yang harus diterangkan adalah “representasi”.  Dalam wacana cultural  studies  representasi adalah proses atau produk yang memberi makna khusus pada tanda (Dimyati, 2002: 110). Jadi, melalui representasi ide-ide ideologis yang abstrak diberi wujudnya. Cavallaro (2001: 71) menyebutkan bahwa representsasi merupakan wakil dari sesuatu yang ditafsirkan oleh orang yang merepresentasikan. Bila perempuan direpresentasikan, maka hasilnya bukanlah yang sesungguhnya, tapi hasil dari sebuah penafsiran yang biasanya bersifat ideologis. Oleh karena itu, sebuah hasil representasi adalah ‘fiksi’, yang lahir karena didorong oleh angan-angan dan asumsi-asumsi.
               Konsep yang lain:  teater Indonesia.  Dalam penelitian ini teater Indonesia yang dimaksud adalah teater yang bukan bermula dari ritual seperti teater rakyat atau teater tradisional, tapi teater yang berasal dari Barat dengan pembagian atau pemisahan tempat pertunjukan dan penonton yang jelas.  Jakob Sumardjo (2004: 96) menyebutkan bahwa teater serupa itu awalnya digemari oleh para pelajar di kota-kota. Asumsi Jakob Sumardjo itu hingga kini tampaknya masih memiliki validitas yang cukup tinggi, karena kenyataannya teater masa kini pun masih berpusat di kota-kota, seperti Medan, Bandung, Jakarta, Makasar, dan lain-lain.
            Jadi yang dimaksud dengan representasi perempuan dalam pertunjukan teater Indonesia adalah penafsiran masyarakat yang dianggap patriarkat terhadap sosok perempuan seperti yang terdapat dalam pertunjukan-pertunjukan teater Woman Community Bandung, Teater Merah Putih Jakarta, dan Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta.
            Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah semiotik. Semiotik merupakan ilmu tentang tanda. Bila ia diterapkan pada teater, maka pertunjukan teater itu dipandang sebagai tanda-tanda yang mengandung arti. Dalam semiotik Saussure (1988) tanda dipandang memiliki dua sisi yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah citra bunyi atau sesuatu yang mewakili, sedangkan petanda adalah makna atau konsep di balik sesuatu yang mewakili itu. Dalam penelitian yang akan direncanakan, semiotik yang dipergunakan untuk mendekati obyek penelitian adalah  semiotik Roland Barthes yang memandang bahwa tanda itu memiliki dua makna, yakni makna primer (denotatif) dan makna primer (konotatif) (Barthes 2004:161). Makna denotatif merupakan makna yang telah umum, seperti misalnya bahwa kata ‘singa’ memiliki makna denotatif sebagai binatang yang garang dan buas. Tapi makna konotatifnya bisa berarti seseorang yang garang, dan tidak berperikemanusiaan. Makna konotatif membutuhkan keaktifan penafsir, karena kalau tidak,mungkin makna sesuatu itu hanya bisa ditangkap secara denotatif saja.


2. Sosok Perempuan dalam Pertunjukan Teater

2.1 “Konde yang Terburai”: Penguatan ‘Mitos’ Tentang Perempuan.
            Pertunjukan “Konde yang Terburai” produksi Lembaga Teater Perempuan (LTP) dengan sutradara Yudiaryani yang dibawa keliling ke berbagai kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung, bertitik tolak dari naskah (drama) dengan judul yang sama karya Dwi Rahayuningsih. 
            Naskah ini memiliki struktur yang relatif sederhana, dan terdiri dari empat babak.  Babak I, di suatu pagi terjadi pertengkaran suami (Kardi) yang pengangguran, dan isteri (Marni) yang bekerja sebagai sinden. Kardi berbuat kasar. Marni pergi meninggalkannya.
            Babak II. Di salah satu ruang rumah bapak hajat. Para sindhen yang akan pentas sedang berhias diri. Secara struktur adegan ini sangat longgar, artinya peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya sebetulnya tidak terlalu kuat berhubungan dengan adegan sebelum atau sesudahnya. Babak ini hanya menggambarkan bagaimana suka-duka menjadi seorang sinden. Umumnya berisi dialog para sinden di sela-sela “ritual” berdandan. Ada yang saling mengejek, saling bersaing, bicara tentang kehidupan keluarga, malah ada pula seorang sinden yang disatroni oleh seorang perempuan lain, karena suaminya terpaut oleh keelokan sinden tersebut.  
            Babak III terjadi sore hari di rumah seorang dalang perempuan, Bu Harti, yang telah berumur 60 tahun. Marni ijin untuk tidak ikut pentas karena ingin menenangkan pikiran. Tentu saja alasan itu membingungkan Bu Harti. Akhirnya Marni mengatakan kenyataan sebenarnya yang menimpa dirinya dan keluarganya. Ia mengatakan bahwa ia akan bercerai dengan suaminya. Suaminya itu sering berbuat kasar dan menyinggung perasaannya gara-gara ia sering dijemput oleh seorang arsitek.
            Bu Harti menasihati Marni, bahwa dunia yang digelutinya adalah dunia riskan. Dunia yang tak bisa lepas dari dunia lelaki. Oleh Karena itu, seorang sinden jangan sekali-kali memberikan harapan pada lelaki yang memujanya, apalagi sudah berkeluarga, agar tidak salah terima nantinya. Akhirnya, Bu Harti menyarankan bahwa Marni tak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan.
Babak IV. Secara umum dalam babak ini adalah untuk menggambarkan makna konde bagi orang Jawa. Kardi menyesal telah berbuat kasar pada Marni. Atas permintaan anaknya yang semata wayang, Kardi memperbaiki konde Marni yang terburai. Marni yang sedang mengintip muncul setelah Kardi dan Juwita pergi tidur. Juwita kemudian pergi tidur, disusul Kardi. Marni muncul. Ia menghampiri konde yang telah selesai diperbaiki Kardi. Perlahan ia menempelkannya di kepalanya. Lalu Marni menelitinya secara seksama di bawah cahaya lampu.
Dari kerangka cerita seperti tersebut di atas, apa sebetulnya yang menjadi makna primer (denotatif) dari “Konde yang Terburai” ini? Sebelum menjelaskan itu, alangkah lebih baiknya kalau dijelaskan terlebih dulu kenyataan pentas saat naskah itu dipanggungkan.
 Pentas proskenium lebih banyak dibiarkan kosong, kecuali di bagian belakang ada bangku-bangku yang dipergunakan tempat duduk oleh para pemain yang akan memerankan tokoh-tokoh yang dibawakannya. Mereka duduk membelakangi penonton. Di paling depan, ada dua bangku di kiri  dan kanan panggung  dengan jarak yang agak jauh, dan sebuah meja kecil.  Di atas bagian belakang, tergantung beberapa semacam gunungan dan tusuk konde dalam ukuran yang relatif besar.  Ketika pentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yakni tanggal 31 Maret dan 1 April 2006, benda yang tergantung itu diganti dengan konde raksasa yang digantung di tengah bagian belakang panggung
Pentas dimulai dengan tarian yang dibawakan oleh seorang perempuan di bagian tengah. Sebuah lampu spot menerangi tarian tersebut. Setelah usai, kemudian masuk ke dalam babak I dari sandiwara itu.  Tokoh Marni duduk di bagian kiri arah penanonton, dan Kardi di bagian kanan. Mereka bertengkar. Isinya sesuai dengan yang tertulis dalam naskah.
Pada Babak II, banyak adegan tambahan, namun tambahan-tambahan itu sifatnya lebih pada pelengkap, bukan untuk mengalihkan “titik-berat” (emphasis) dari tema naskah. Sutradara menambah dialog orang yang sedang hajat, dagalen-dagelan dari sinden, baik yang berupa sindiran maupun hanya sekedar memancing tawa penonton.
Demikian pula pada adegan-adegan selanjutnya. Ada beberapa adegan yang ditambahkan. Namun secara umum, sutradara membawakan naskah secara “santun”, sesuai dengan “aslinya”.
Jika kita membicarakan makna denotatif dari pertunjukan “Konde yang Terburai (KYT) maka secara jelas bahwa pertunjukan itu mengacu pada suatu pandangan bahwa lelaki tidak bisa semena-mena memperlakukan perempuan, misalnya dengan melarang kerja atau berlaku kasar. Marni adalah sosok perempuan yang diperlakukan secara semena-mena dan kasar oleh suaminya. Ia dilarang untuk bekerja sebagai sinden oleh Kardi, meskipun Kardi itu seorang pengangguran. Konde sendiri digunakan sebagai tanda tentang seorang perempuan yang bekerja di wilayah publik yang penuh sanjungan, intrik, gairah, cinta, dan juga fitnahan.
Sebagai sinden Marni harus menghadapi segala fitnahan karena sifatnya yang terbuka terhadap orang lain. Ia seorang perempuan, maka ketika ia dekat dengan seorang lelaki, maka ia akan dicap sebagai wanita nakal, gampangan. Kardi, suaminya yang telah mendampinginya selama delapan tahun, akhirnya tak tahan terhadap omongan-omongan yang ada di sekitarnya. Ia nyaris mencapnya seperti itu pula. Ia menjadi pencemburu. Ia menjadi kasar terhadap iserinya. Namun, akhirnya Kardi menyadari bahwa sikapnya tampaknya kurang tepat. Oleh karena itu, ia berusaha memperbaiki konde isterinya yang terburai. Jadi secara singkat bisa dikatakan bahwa pertunjukan KYB adalah kisah yang menunjukkan bahwa ketika perempuan berada di ruang publik, terutama yang sangat dikuasai oleh lelaki, maka konsekuensinya ia harus berhadapan dengan kondisi-kondisi yang memarjinalkannya.
Dalam pertunjukan KYB, jika harus dicari pemenang, maka pemenangnya adalah Marni, dan yang kalah adalah Kardi. Pada akhir adegan, Kardi berusaha menjalin kembali konde yang telah dibuat rusak olehnya, yang disaksikan oleh oleh Marni, meskipun tanpa sepengetahuan Kardi. Kardi seolah-olah pasrah dengan kemauan Marni untuk tetap menjadi sinden, karena memang dia pun tidak bisa menghidupi keperluan keluarganya. Ketika suasana telah sunyi, Marni masuk, memperlihatkan kembali konde itu kepada para penonton, bahwa dia akan tetapi memasuki wilayah publik itu, meskipun konsekuensinya harus berhadapan dengan kondisi-kondisi yang bisa menyanjungnya, tapi juga mempurukkannya.
Lalu apa makna sekunder atau konotatif dari pertunjukan KYB? Makna konotatif biasanya terdapat secara tersirat, dan biasanya tidak disadari oleh pembuat tandanya. Ketika Yudiaryani mementaskan KYB, mau tidak mau biografinya akan muncul dalam pertunjukan tersebut, baik disadari maupun tidak disadari. Sebagai manusia yang hidup dalam ruang sosial, yang dididik dengan nilai-nilai tertentu, maka ia akan memperlihatkan kecenderungan-kecenderungan perilaku dan penganut ide atau gagasan tertentu yang relatif sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap lebih pantas dibandingkan dengan yang lainnya oleh masyarakat tempat di mana ia hidup.
Oleh karena itu, meskipun Yudiaryani demikian sadar dengan adanya suatu ketimpangan gender dalam kehidupan, dan berusaha untuk lepas dari jeratan berpikir serupa itu, bila ia telah ditanami oleh nilai-nilai yang mendukung tentang ketimpangan gender tersebut dari semenjak bayi hingga dewasa, biasanya nilai-nilai itu tidak akan sepenuhnya hilang, meskipun ia berusaha untuk kritis terhadap kondisi tersebut.
Begitulah, meskipun dalam pertunjukan KYP Yudiaryani menunjukkan suatu perlawanan terhadap ketimpangan gender yang ada di masyarakat, namun rupanya ia tidak bisa lepas untuk merepresentasikan perempuan yang sedang dibelanya dengan sterotipe-stereotipe tertentu yang telah tumbuh di masyarakat.
Sosok Marni merupakan tanda yang sengaja ditampilkan sutradara untuk merujuk pada makna bahwa perempuan bukanlah makhluk lemah seperti selama ini selalu digambarkan. Tetapi tampaknya sutradara tidak bisa melepaskan mitos mengenai perempuan yang perasa. Marni tidak bisa membendung air matanya saat Kardi memperlakukannya secara kasar. Meskipun Marni berusaha melawan kekasaran Kardi dengan mengatakan: “Mas kamu bisa saja menghancurkan seluruh barang-barangku bahkan awakku pisan, ning kabeh ora cukup kanggo nglarang anggonku nyinden”, namun ucapan yang gagah itu dibarengi dengan derai air mata di pipinya. Adegan ini tampak menggarisbawahi kembali secara tegas tentang anggapan masyarakat mengenai sosok perempuan, yakni bahwa perempuan itu terlalu banyak berbicara dengan perasaan, jarang mempergunakan akal pikirannya.
Kemudian pada babak II saat para sinden sedang berdandan. Makna denotatif dengan menghadfirkan adegan ini adalah untuk memperlihatkan bagaimana para sinden mengadakan “ritual” dalam berhias diri sebelum pementasan dimulai. Dalam adegan-adega yang ditampilkannya tampak memperlihatkan suatu “penguatan” kembali mengenai sosok umum mengenai perempuan yang telah dipercayai kebenarannya, yakni bahwa perempuan itu jika berkumpul senantiasa menebarkan gosip, berbicara nyerocos seperti tak ada habisnya, bergunjing satu sama lain, dan penggoda lelaki hidung belang.
Meskipun babak II ini keterikatannya sangat “longgar” dengan keseluruhan, artinya bahwa babak ini bisa saja dihilangkan (diedit) oleh sutradara dengan tanpa mengubah makna secara keseluruhan. Justru sebaliknya, sutradara malah menambah beberapa adegan yang membuatnya menjadi babak yang terpanjang dalam KYB. Durasi pertunjukan KYB kurang lebih sekitar 1 jam 50 menit, dan babak ini menghabiskan waktu sekitar 48 menit, padahal isinya didominasi oleh dagelan-dagelan  yang membuat geer para penonton.
Dengan mempertahankan babak ini terlihat bahwa Yudiaryani terlihat masih terbelenggu oleh asumsi-asumsi umum mengenai perempuan, sebagai sebuah cerminan bagaimana hegemoni lelaki bertahan melalui sebentuk pengetahuan yang terus diproduksinya untuk juga di-“iya”-kan oleh yang terhegemoni, yakni perempuan.
Secara ringkas bisa disebutkan beberapa stereotipe-stereotipe perempuan yang muncul dalam babak II ini, seperti: perempuan itu senang bergunjing; perempuan itu cenderung cerewet; perempuan itu senang dipuji; dan perempuan atau sinden itu suka menganggu rumah tangga orang lain.
Pada babak III muncul kembali gambaran umum (generalisasi) mengenai perempuan itu.  Dalam babak ini sutradara ingin memberikan pesan-pesan moral kepada penonton lewat percakapan antara dalang dengan Marni. Dalang dipilih sebagai perempuan bijaksana, dan Marni adalah sosok wanita yang berusaha tegak dalam persaingan hidupnya baik sebagai isteri maupun sebagai sinden.
             Di sini sutradara menggambarkan kembali mengenai sosok Marni sebagai perempuan yang selalu memakai “logika rasa”. Dia datang pada Bu Harti dengan hati yang nyaris tak kuat menghadapi suaminya, Kardi, yang dianggapnya kasar dan sering menyinggung perasaannya. Oleh karena itu, Marni mengambil kesimpulan bahwa ia harus bercerai dengan Kardi.
            Bu Harti sebagai perempuan yang bijaksana berusaha memahami kegundahan-kegundahan yang dialami oleh Marni. Ia mencoba menelusuri pangkal mengapa Marni akan mengambil keputusan untuk bercerai yang dianggapnya terlalu terburu-buru. Akhirnya, Bu Harti tiba pada kesimpulan bahwa Kardi sebetulnya tidak bersalah, yang salah adalah Marni karena sebagai perempuan yang sudah berkeluarga ia mau saja dijemput oleh laki-laki bujangan yang secara terang-terangan menyukai dirinya. Secara tersirat tampaknya sutradara beranggapan, melalui mulut dalang, bahwa lelaki itu sebetulnya memeliki kecenderungan untuk selalu menggoda perempuan, oleh karena itu perempuanlah yang mestinya menghindar, jika ia tidak menghindar maka yang salah adalah perempuan itu sendiri. Jadi, dalam hal ini lelaki selalu dimaklumi, sedangkan perempuan tidak. Akhirnya logikanya menjadi terbalik: perempuanlah yang penggoda dan lelaki bukan, karena walaupun ia memiliki kecenderungan untuk menggoda, itu bukan kemauannya, tapi sudah dari sono-nya demikian.
            Perempuan harus menghindar bila digoda oleh lelaki, dan tidak sebaliknya. Gambaran ini menjadi semakin jelas terlihat di adegan akhir pada babak ini. Abdi dalang datang tergopoh-gopoh mengabarkan mengenai kematian dua sinden, Delima dan Titin. Tintin meninggal karena operasi plastik, ingin memperlihatkan kecantikan luar, bukan kecantikan dalam; dan Delima meninggal karena kecelakaan kendaraan karena mau diantar oleh lelaki yang sedang mabuk. Delima dan Titin mati karena ulahnya sendiri, demikian kira-kira sutradara ingin menegaskan, karena mereka tidak memahami baik takdirnya sebagai perempuan, maupun takdir lelaki sebagai lawan jenisnya.

2.2 “Malam Terakhir”: Si Cantik yang Mengguratkan Maut
            Naskah “Malam Terakhir” karya Yukio Mishima (1925-1970), seorang pengarang Jepang yang melakukan seppuku, bunuh diri secara kepercayaan agamanya, bercerita tentang seorang perempuan yang telah renta, Komachi, berumur sembilan puluh sembilan tahun, yang bertemu dengan seorang penyair di sebuah taman.
            Cerita terjadi pada malam hari. Di taman itu, selain Komachi, ada beberapa pasangan yang sedang menimati malam. Mereka duduk-duduk di bangku-bangku taman sambil berkencan. Komachi digambarkan sebagai perempuan kumel, keriput, kotor, dan bau badan. Orang-orang yang ada di stu tidak suka mendekati dan didekatinya.
            Berbeda dengan penyair yang datang pada malam yang keseratus ke taman itu. Ia senantiasa mengajak mengobrol Komachi. Komachi bercerita pada penyair tentang masa mudanya, delapan puluh tahun yang lalu, saat ia masih berusia sembilan belas tahun. Konon seorang kapten dari pasukan pengawal Kaisar yang bernama Fukaksa sangat terpesona olehnya.
            Kemudian penyair dan perempuan itu merekonstruksi peristiwa itu. Penyair berpura-pura menjadi Kapten Fukaksa, dan Komachi kembali jadi muda. Lalu, waktu seolah-olah berubah, masuk pada masa lalu Komachi, saat masih dipuja sebagai perempuan yang paling mempesona. Di sini mulai terjadi tumpang-tindih antara masa lalu dengan masa kini. Seolah-olah pengarang ingin menggambarkan waktu yang relatif.
            Komachi dan Fukaksa berdansa wals. Orang-orang berdansa. Saat musik berhenti Komcahi dikelilingi oleh orang-orang yang hadir pada saat itu, dan memuja kecantikannya.
            Penyair merasa bahwa ia mulai masuk ke dalam dunia yang sungguh ajaib. Seolah-olah peristiwa itu menimpanya. Ia seolah-olah menjadi Kaptan Fukaksa. Masa lalu dan masa kini menjadi kabur. Penyair kehilangan dunianya. Ia terbuai oleh perempuan tua yang kini terlihat cantik di matanya.
            Penyair ingin menyebutkan bahwa perempuan keriput yang telah renta itu berubah menjadi cantik. Namun perempuan tua itu berusaha mencegahnya. Komachi takut bahwa di malam keseratus pertemuan dengan penyair itu akan membawa kematian pada penyair. Karena demikianlah pengalaman, setiap lelaki yang menyebut cantik dirinya di malam yang keseratus, maka lelaki itu mati.
            Komachi tak lagi terlihat tua, bau, atau keriput. Ia menjadi perempuan yang memang pantas dipuja. Beberapa kali penyair ingin menyebutnya cantik, tapi Komachi berusaha mencegahnya. Akhirnya, sampai juga mulut penyair itu memberondongkan kata-kata yang mencorengkan maut di mukanya: “Aku harus mengatakan padamu Komachi! Engkau cantik! Engkau perempuan yang paling cantik di dunia. Dan kecantikan tidak akan memudar meskipun sudah seribu tahun.”
            Demikianlah secara ringkas isi dari naskah “Malam terakhir”. Yanni Mae, sutradra pertunjukan “Malam Terakhir” (MT), yang diproduksi dengan memakai nama Woman Community Bandung (WCB), menggarap naskah ini terlihat dengan begitu hormat terhadap pengarangnya. Artinya, ia tidak berusaha untuk mengeditnya, tapi menampilkannya secara utuh. Memang naskah “Malam terkahir” relatif pendek, dan antara satu adegan dengan adegan lainnya begitu “rapat” hubungannya, sehingga ketika seseorang memutuskan untuk mengedit, maka ia harus ekstra hati-hati melakukannya.
            Setting MT saat divisualisasikan dibuat dengan cukup sederhana. Di panggung terdapat tiga buah bangku tempat duduk yang terbuat dari bambu, kemudian di atasnya tergantung beberapa lampu lampion. Peristiwa terjadi pada malam hari, ada cahaya bulan, lampion berkelap-kelip, secara keseluruhan cahaya remang.
            Saat layar dibuka terlihat Komachi menghitungkan sesuatu dengan menggunakan kimono berwarna gelap. Ia mendekati seorang pasangan muda dan meminta api rokok. Dia duduk di samping orang yang sedang dimabuk asmara itu. Mereka merasa terganggu, lalu menyingkir mencari tempat yang yang lain. Lalu datanglah penyair dari arah belakang, dan mengalirlah secara perlahan peristiwa-peristiwa yang dihubungkan secara kausalitas hingga akhir.
            Apakah makna primer dari pertunjukan MT? Adakah di dalamnya suatu maksud tertentu untuk melawan ketimpangan gender? Apakah di dalam pertunjukan MT ada asumsi-asumsi mengenai perempuan? Jika ada, bagaimana sutradara merepresentasikan perempuan dalam pertunjukan MT?
            Naskah “Malam Terakhir” karya Yukio Mishima ini secara sengaja tidak mencerminkan persoalan gender. Begitu pula saat ia dijadikan titik-tolak pertunjukan, tampaknya Yanni Mae tidak bermaksud untuk menggambarkan persoalan gender atau bagaimana masalah perempuan di gambarkan.
            Saat dilihat secara denotatif, pertunjukan MT secara dominan ingin menggambarkan bahwa kehidupan ini senantiasa tidak hanya diisi oleh hal-hal yang secara rasional bisa dipahami, tapi juga mengandung hal-hal yang tampak tidak bisa diperhitungkan secara akal sehat.
            Mengapa setiap lelaki yang menyebut cantik Komachi pada pertemuannya yang keseratus akan terjerumus menuju maut? Mengapa tiba-tiba penyair terjebak pada masa lalu Komachi, seolah-olah dia menjadi Kapten Fukaksa, dan pandangannya menjadi berubah terhadap Komachi secara berlawanan? Bagaimanakah pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijelaskan secara logis? Jelas hal itu tampaknya menjadi hal yang mustahil. Jika pun ia tetap akan dijawab, maka jawabannya pun kemungkinan besar terkesan hanya sekedar mengada-ada.
            Namun jika dilihat secara simbolik, artinya bahwa pertunjukan MT menyimbolkan sesuatu yang tidak secara langsung tersurat dalam dialog-dialog yang ditampilkannya, maka ia pun bisa dibaca sebagai cerminan dari pandangan hidup yang menganggap bahwa jika manusia masih terjebak pada hal-hal yang bersifat duniawi atau material, maka ia sebetulnya sedang menggali kuburannya sendiri.
            Kecantikan Komachi itu bisa dilihat sebagai tanda yang mengacu pada hal-hal yang sifatnya duniawi, sedangkan keinginan Kapten Fukaksa atau penyair untuk memiliki (kecantikan) Komachi, adalah keinginan-keinginan manusia secara umum yang senantiasa ingin menguasai hal-hal yang bersifat duniawi itu. Kecantikan Komachi itu semu, sebuah bentuk yang sebetulnya keriput, tua, jorok dan tak terurus, dan ketika penyair ingin menguasainya dengan mengatakan bahwa ia cantik, maka ia terjebak pada tipuan-tipuannya yang sengaja ditampilkan, dan sebagai akibatnya penyair itu, seperti yang dikatakan Komachi, “mencorengkan kematian pada keningnyanya sendiri.”
            Jika melihat makna primer atau denotatif pertunjukan MT seperti tersebut di atas, maka dengan jelas bahwa Yanni Mae secara “kasat mata”  tak memiliki kegelisan gender, dan oleh karena itu  dalam pertunjukan yang disutradarainya tersebut tak mencerminkan apa pun mengenai pembagian “kekuasaan” antara laki-laki dan perempuan.
            Namun meskipun begitu, bukan berarti dalam pertunjukan MT tak ada sama sekali sikap atau pandangan sutradara tentang perempuan. Mungkin betul bahwa secara sengaja masalah-masalah perempuan oleh Yanni Mae selaku sutradara tidak dibicarakannya. Tetapi sebetulnya, jika dilihat secara seksama, dalam pertunjukan MT ada gambaran tentang sosok perempuan yang tersaji di sana.
            Meskipun pertunjukan teater itu bermula dari naskah (drama), sebuah karya sastra ciptaan orang lain, tidak berarti bahwa untuk menafsirkan pertunjukan itu harus kembali bermula dari karya sastra yang menjadi sumber inspirasinya. Pertunjukan teater adalah sebuah “versi” (Suyatna Anirun, 2000), karya seni hasil seorang sutradara yang dibantu oleh para pendukung pertunjukan lainnya, yang juga menunjukkan gagasan dan pemikiran sutradaranya.
            Ketika Yanni Mae memilih “Malam Terakhir” untuk pertunjukan teater, sudah tentu diawali oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu terlebih dulu. Ia tidak hanya sekedar memilih, namun melibatkan pula pikiran dan imajinasinya sebagai seorang perempuan yang hidup dan berkembang dalam “ruang” dan “waktu” tertentu. Jadi, saat ia memutuskan akan mementas MT sebagai karya teaternya, ada pertimbangan-pertimbangan tertentu, baik yang disadari maupun tidak, yang hadir sebelum keputusan itu muncul kepermukaan.
            Makna sekunder atau kontotatif seperti apa yang hadir dalam pertunjukan MT terutama hubungannya dengan penggambaran perempuan? Komachi adalah seorang perempuan yang ditakdirkan memiliki kecantikan, namun kecantikannya bisa membawa mala petaka bagi yang menyebutkannya.
            Perempuan cantik adalah sesuatu yang biasa, lumrah, seperti lumrahnya laki-laki yang tampan atau ganteng. Tapi mengapa harus kecantikan perempuan yang menjadi sumber mala petaka, dan tidak kegantengan laki-laki sebagai sumber mala petaka perempuan? Pilihan-pilihan seperti itu tentu saja bersifat manasuka (sewenang-wenang), namun bukan berarti “sistem nilai” masyarakat yang ada di benaknya tidak ikut serta. Manusia itu makhluk pribadi, namun juga sekaligus makhluk sosial. Ia tidak bisa berada di titik ekstrem yang satu dan mengabaikan yang lainnya, tapi ia biasanya berada di antara keduanya. Kakinya mengangkang di antara dua “daerah” yang saling bertolak belakang itu.
             Kematian adalah sebuah “dunia gelap” dan tak pasti. Umumnya orang-orang yang hidup akan berusaha menghindarinya. Dunia kematian adalah sebuah “titik-puncak” dari kegamangan hidup manusia yang senantiasa gelisah dengan masa depan yang belum terbentuk.  Masa depan itu begitu menakutkan, karena manusia belum memiliki “peta”-nya, agar bisa terkuasai. Oleh karena itu, dalam pertunjukan MT terlihat bahwa ketika kematian menghampiri orang yang hidup, terutama orang-orang muda yang masih memiliki gairah besar seperti halnya penyair atau Kapten Fukaksa, mereka ibarat masuk dalam kemalangan yang demikian sangat.
            Jika kecantikan yang dimiliki Komachi mampu membawa lelaki masuk ke lubang maut, berarti Komachi merupakan sumber kemalangan yang tiada tara. Komachi adalah tanda yang merujuk pada jenis kelamin perempuan. Bisa dikatakan bahwa Komachi dalam pertunjukan MT merupakan representasi dari perempuan secara umum. Bisa jadi ia lemah secara fisik, artinya tak sekuat lelaki, namun saat lelaki yang dianggap kuat itu, seperti penyair atau Fukaksa, terpukau oleh kecantikannya, maka ia akan sulit menghindari masuk ke dalam kemalangan yang demikian dasyat.
            Jadi, bisa disimpulkan bahwa pertunjukan MT yang disutradarai oleh Yanni Mae merepresentasikan sosok perempuan yang dengan kecantikannya bisa membawa masuk lelaki ke dalam “titik puncak” kesengsaraan. Mungkin sutradara tidak menyadari adanya “potensi-potensi” penafsiran yang bisa mengarah ke sana. Begitulah karya seni, ketika ia ditafsir, maka ia pun menggeliat, masuk ke dalam “lorong-lorong” yang gelap. Saat “lorong-lorong” gelap itu belum selesai ditafsir kembali, karya seni itu telah berada dalam lingkaran obskuritas yang berbeda.

2.3  “Alia, Luka Serambi Mekah”: Perempuan Versus Kekuasaan
               Naskah (drama) “Alia, Luka Serambi Mekah” merupakan karya kelima Ratna Sarumpaet yang sempat dipentaskan atas nama Teater Satu Merah Panggung, dengan disutradarai langsung oleh dirinya. Paling tidak ada empat kota, yakni Jakarta, Surakarta, Tasikmalaya, dan Banda Aceh, yang telah disinggahi oleh Satu Merah Panggung  dalam rangka mempertunjukan “Alia, Luka Sermabi Mekah” (ALSM).  Secara ringkas dapat dituliskan sinopsis cerita ALSM seperti tersebut di bawah ini:
            Alia adalah anak dari seorang ibu yang bernama Cut Nyak, guru mengaji, dan ayah yang bernama Tengku Sayiful, seorang pemimpin pemberontakWalinegeri di Tanah Rencong. Ia seorang korban pemerkosaan. Hidupnya dikepung oleh kekerasan-kekerasaan dari orang-orang yang sedang berebut kekuasaan.
            Karena niatnya untuk menggali belulang korban-korban pembunuhan, dan kemudian akan menguburkannya, sesuai dengan perintah agama, Alia menjadi sasaran penangkapan aparat keamanan. Masalahnya jika niat Alia itu terlaksana, di mata penguasa yang terbilang sangat kejam itu, bisa menyebabkan tersulutnya emosi rakyat, dan hal itu bisa pula menjadi awal munculnya kesadaran politik masyarakat yang semakin luas. Di samping itu, Alia seorang perempuan yang cerdas, dia banyak bicara, dan kerap secara terang-terangan membongkar kepalsuan-kepalsuan orang-orang yang dianggapnya munafik.
            Agar perilaku dan omongan Alia tidak menjadi suatu kekuatan yang semakin solid, maka aparat keamanan menangkapnya, dan menjebloskannya ke dalam penjara. Namun tak lama dipenjara, Alia bisa kabur dan bersembunyi di suatu tempat. Melalui tempat persembunyian inilah Alia semakin memahami kemunafikan dan kepalsuan manusia-manusia, terutama kaum lelaki, yang kadang bersembunyi di balik topeng yang suci. Dalam pelarian ini pula Alia semakin paham siapa sebetulnya ayahnya yang semula dianggap sudah meninggal dunia namun ternyata masih hidup. Dalam pelarian itu pula Alia harus menyaksikan kenyataan ibunya yang dipuja, Cut Nyak, menghembuskan nafsnya yang terakhir.
            Ketika Alia sedang melakukan penggalian mayat-mayat yang tak berdosa, dan akan menguburkannya secara layak dengan masyarakat, Alia bertemu dengan ayahnya. Ayahnya mengajak Alia untuk pergi bersamanya, agar ia bisa hidup dengan tenang, tidak dikejar-kejar trauma ketakutan. Alia menolaknya. Malah ia menyalahkan pula ayahnya. Bahwa karena ambisi kekuasaan ayahnya sebagai pemimpin pemberontak, maka harus melayang nyawa-nyawa yang tidak berdosa.
            Tak lama berselang datang aparat keamanan mengepung. Ayah Alia beserta rombongannya bisa menyelamatkan diri. Alia ditodong oleh pistol. Masyarakat yang bersamanya berusaha melindunginya. Namun kemudian Alia bisa keluar dari lingkaran masyarakat itu untuk dengan ikhlas ditembak di tempat oleh aparat keamanan. Saat suasana semakin tegang, tiba-tiba ada peluru nyasar mengenai tubuh Alia, entah peluru siapa. Alia pun rebah, dan menghembuskan nafas terakhir di tempat itu juga.
            Di akhir cerita, Alia bangkit dengan penampilan yang berbeda, seolah-olah dia datang dari alam yang lain. Sebelum layar di tutup, ia mengucapkan sebentuk syair:

            Keangkuhan yang membabi buta membuat apa yang selama ini
dengan serakah mereka rengkuh tak sedikit pun menyentuh arti kepuasan.
            Diikuti bayang-bayang ketidakpastian, seperti anjing kelaparan
            yang mencari tulang dalam kegelapan, mereka terus mengejar
            dan tak pernah tiba …

            Apakah Alia masih hidup atau tidak,
            Tidak penting lagi …
            Ketika kebenaran memanggilmu, ikutilah dengannya
            meski jalan yang kau tempuh keras dan terjal.
            Jika kebenaran bicara padamu percayalah,
            meski suaranya akan memporak-porandakan mimpi-mimpimu   
            Saat itu, mati bukan lagi pertanyaan
Karena kebenaran dan kematian adalah inti artinya kehidupan yang tak terelakkan

            Sekilas ALSM mirip dengan cerita drama Antigone karya Sophocles. Antigone dijebloskan ke dalam kurungan (gua) oleh Creon karena ingin menguburkan saudaranya yang gugur saat merongrong kekuasaan raja yang sah. Akan tetapi Creon sebagai raja menghalanginya, karena menurutnya jenasah pengkhianat itu tidak pantas dikuburkan secara ritual keagamaan, namun lebih bagus tergeletak di udara terbuka dan dipatuki oleh burung-burung bangkai, sehingga ia bisa menjadi peringatan bagi siapa saja yang merongrong kekuasaan. Apakah kemiripan ini mungkin terjadi secara kebetulan saja atau memang Ratna Sarumpaet sebagai pengarang naskah secara sadar terinspirasi oleh naskah drama Yunani klasik itu, sebetulnya tidak menjadi persoalan yang patut diperbincangkan secara panjang lebar, hanya saja barangkali kita harus mengingat kembali persoalan keotentikan tentang karya seni, yakni bahwa sebetulnya keotentikan yang diagung-agungkan oleh pemikiran modern sebetulnya semu, sebab ternyata tak ada sama sekali karya manusia yang otentik dan baru di dunia, semuanya menyimpan “jejak-jejak” masa lalu, baik secara disadari maupun tidak disadari.
Saat ALSM dipentaskan di Graha Bhakti Budaya di TIM Jakarta, pada tanggal 12-17 Mei 2000, durasinya sekitar 120 menit. Selain penulis naskah, dalam pertunjukan ini Ratna Sarumpaet bertindak sebagai pemain (sebagai Alia) dan sutradara. Secara umum tak ada perbedaan antara teks pertunjukan dengan teks drama. Nyaris tak ada satu kata pun yang diedit atau ditambahkan dalam pertunjukan.
            Untuk menjadikan pertunjukannya menjadi ‘hidup’ dalam sebuah ruang dan waktu, Ratna telah bekerja sama dengan Roedjito dalam penataan skenografi. Seluruh panggung dibalut hitam. Demikian pula dengan kostum para pemain yang digarap oleh Samuel Wattimena, semuanya berwarna gelap. Dari pentas hingga ke tengah auditorium berjuntai tali-tali yang tergantung dari atap hinga lantai. Konon tali-tali itu dihadirkan untuk memberikan suatu penekanan pada keterbelengguan manusia oleh kekuasaan. Sedangkan warna hitam adalah penegasan tentang kemuraman sebagai ‘nada dasar’ dari pertunjukan ALSM.
            Ketika pertunjukan dibuka, ada gema suara dzikir, orang-orang mengaji, dan juga suara-suara tangis. Nuansa keagamaan begitu kental, tanda bahwa peristiwa terjadi di Serambi Mekah. Semula lampu panggung buram, namun lama kelamaan terang; pada saat itu, perempuan para korban pemerkosaan duduk melingkar, membuat gerakan-gerakan, memancarkan ketakutan dan juga marah. Alia yang duduk di tengahnya menatap lurus ke depan, terpaku, lalu bangkit dan pergi ke luar saat terdengar derap sepatu tentara dan dentuman. Setelah adegan yang agak mencekam itu, setelah tenang beberapa saat, Cut Nyak (dimainkan oleh Nani Wijaya) muncul, wajahnya tampak khawatir. Di tengah-tengah para muridnya yang terlihat geram, Cut Nyak membuka suara sebagai tanda ada masalah yang serius di sekitar mereka.
            Dalam adegan-adegan selanjutnya, Alia tampil begitu dominan. Ia terlibat dalam perdebatan-perdebatan dengan orang-orang yang ditentangnya. Ia terlihat sangat pintar. Dialog-dialognya relatif panjang, penuh dengan soliloquy. ALSM seperti sebuah monolog panjang dari sang pahlawan, Alia.
Lalu, apa makna primer atau denotatif yang ingin disampaikan oleh Satu Merah Panggung melalui pertunjukan ALSM ini? Yang paling jelas adalah persoalan tentang ambisi kekuasaan yang menghancurkan segala aspek kehidupan. Umumnya ambisi kekuasaan itu timbul pada orang yang berjenis kelamin laki-laki. Perempuan, dan juga anak-anak, menjadi korban. Selama ini perempuan menjadi objek, suaranya tak pernah didengar, dan kehadirannya hanya jadi pelengkap dalam mewujudkan nafsu laki-laki terhadap kekuasaan. Melalui tokoh Alia tampaknya Ratna ingin memperlihatkan bahwa perempuan itu bisa menjadi subjek, yang memiliki suara lantang dan patut diperhitungkan. Alia adalah tanda tentang perlawanan perempuan terhadap ambisi kekuasaan laki-laki, perlawanan terhadap penormorduaan terhadap kaumnya. Di akhir cerita ia mati, namun kematiannya menyimpan catatan bahwa perempuan tidak bisa diremehkan.
Di balik makna denotatif yang tergambar secara gamblang itu, ada suatu pandangan Ratna yang agak ‘tersembunyi’, yakni bahwa laki-laki itu tidak ada yang baik, semuanya jahat, terutama saat memegang kekuasaan. Kecuali masyarakat seperti Jamal, Umar, dan Maimul yang hadir sebagai koor atau peran-peran kecil, peran-peran laki-laki lainnya yang menonjol dalam ALSM tampil dengan suatu stereotip yang serupa, yaitu bahwa mereka pengecut, mementingkan diri sendiri (egois), dan menghalalkan berbagai cara untuk mengejar ambisi kekuasaannya. Panglima Rayeuk, adik ipar Cut Nyak, berani mengorbankan keponakannya atau bahkan anaknya, agar dirinya bisa tetap aman, hidup berkecukupan, dan dapat memiliki jabatan. Komandan, sebagai representasi pemerintahan pusat, sama sekali tak memiliki nurani, ia bisa melakukan pembunuhan kapan saja agar kekuasaan Negara tidak terusik. Farhan, pacar Alia, terlalu mementingkan keselamatan dirinya, egois, hanya berpikir tentang hidupnya yang nyaman, dan tak memiliki keberanian untuk mendobrak kondisi yang ada. Tengku Saiful, ayah Alia, juga hanya berpikir tentang kekuasaan, tidak pernah memikirkan isteri dan anaknya, serta masyarakat Aceh yang konon sedang dibelanya; Tengku Saiful hanya membela ambisinya terhadap kekuasaan.
Sebaliknya, tokoh-tokoh perempuan dalam ALSM justru memiliki suatu kesetiaan yang dalam dan pandangan yang jauh ke depan. Mereka adalah makhluk yang langsung menderita atas terjadinya kekerasan dan peperangan laki-laki. Tampaknya dengan sengaja Ratna ingin menonjolkan peran-peran perempuan itu sebagai makhluk-makhluk yang nyaris ‘suci’, dan senantiasa membela kepentingan orang banyak meskipun harus nyawa yang menjadi taruhannya. Cut Nyak, ibu Alia, tokoh yang disegani masyarakat, sangat bijaksana dan tak pernah kompromi dengan keadaan yang dianggapnya tidak adil, meskipun diiming-imingi oleh kekuasaan atau materi yang bisa membuat hidupnya menjadi nyaman. Alia, protagonis cerita ALSM, berani bertindak sesuai dengan yang dianggapnya benar, setia terhadap nurani dan masyarakat, dan tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Ia harus kehilangan ibunya, berpisah dengan bapaknya, dan senantiasa berada dalam pelarian, karena ia yakin bahwa yang dilakukannya adalah benar, sesuai dengan perintah agama, sesuai dengan suara rakyat (masyarakat). Alia selalu menjadi guru bagi perempuan-perempuannya lainnya. Dalam pandangannya bahwa perempuan itu mungkin terlihat lemah, tapi  di balik kelemahannya ada kekuatan dan keberanian yang tiada tara. Alia ingin menancapkan pemahamannya ini pada perempuan-perempuan lainnya seperti soraya atau Zahra, santri-santri ibunya.    .
Dari sudut pandang tertentu, kekontrasan antara tokoh laki-laki dengan tokoh perempuan dalam ALSM, dapat dilihat sebagai sebuah teknik yang disajikan Ratna untuk mendobrak pandangan umum yang selama ini melecehkan kaum perempuan sebagai makhluk nomor dua. Artinya, jika selama ini laki-laki dilihat sebagai makhluk yang perkasa, gagah, dan kuat, dan perempuan itu makhluk lemah dan hanya mengandalkan perasaan, kemudian dalam pertunjukan ALSM gambaran ini diubah menjadi terbalik; pembalikkan ini bisa menyebabkan timbulnya  alienasi atau pengasingan dari kondisi keseharian. Ia menjadi semacam interupsi terhadap kondisi rutin atau reguler yang nyaris sudah tidak dipertanyakan lagi kebenarannya. Dengan adanya pandangan serupa itu, paling tidak orang-orang yang menyaksikan ALSM itu terhenyak, disadarkan terhadap kemungkinan lain yang selama ini tidak pernah menjadi bahan renungannya.
Tentang pandangan bahwa kekuasaan yang dipegang oleh laki-laki di mata Ratna cenderung korup, dan oleh karena itu harus dilawan, tidak hanya sekali saja disuarakannya. Bila ditilik secara seksama umumnya naskah-naskah yang ditulis Ratna selalu bertumpu pada tema yang relatif sama. Sebut saja “Marsinah Menggugat”, “Terpasung”, atau yang baru saja dipentaskan “Jamila dan Presiden” (2006), umumnya semua bicara tentang perlawanan perempuan terhadap kungkungan kekuasaan lelaki. Laki-laki digambarkan seolah-olah tidak memiliki niat baik, bertindak tidak dalam kondisi “sepi ing pamrih”, namun selalu didasari oleh kepentingan-kepentingan pribadi yang dipoles oleh bahasa untuk kepentingan umum. Untuk mencapai tujuannya, atau untuk memuaskan ambisi kekuasaannya, laki-laki tak segan-segan menghalalkan segala cara dalam menumpas segala rintangan. Ketika suatu kepentingan dari laki-laki tertentu bersitegang dengan kepentingan dari laki-laki yang lainnya, yang menjadi korban umumnya justru perempuan dan anak-anak, padahal mereka orang-orang yang sama sekali tidak pernah mau melibatkan dirinya pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Agar kondisimya nisa berubah, maka orang-orang yang tertekan itu, yakni perempuan, harus melawan. Bisa jadi perlawanannya berakhir dengan meregangkan nyawa dirinya, tapi paling tidak jika ia telah terartikulasikan bisa membukakan mata bahwa makhluk yang selama ini dianggap lemah, m  
            Tampaknya, baik disadari maupun tidak disadari, Ratna Sarumpaet, ingin melakukan perlawanan secara radikal terhadap kekuasaan laki-laki. Ia tak ingin lagi melihat perempuan hanya jadi penghias rumah, tukang masak, atau bergunjing di sela-sela waktu senggang. Ia melalui ALSM berusaha menggambarkan bahwa perempuan itu sangat perkasa, mampu melawan kekuasaan lelaki yang cenderung korup.

3. Penutup
Jadi bila tujuan penelitian ini ingin menjawab pertanyaan: “Bagaimana sosok perempuan direpresentasikan dalam pertunjukan teater oleh sutradara perempuan?”, maka jawabannya: setiap sutradara perempuan memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menggambarkan sosoknya. Dalam penelitian ini, Yudiaryani yang menyutradarai “Konde yang Terburai” karya Dwi Rahayuningsih, meskipun sangat menyadari bahwa ketimpangan-ketimpangan gender itu senantiasa terjadi, dan perempuan tampaknya harus melawan ketimpangan tersebut, dalam pertunjukan teater yang disutradarainya masih memperlihatkan suatu sikap dan pandangan yang cenderung bersetuju dengan “mitos-mitos” mengenai perempuan, meskipun sebetulnya “mitos” tersebut adalah bentukan atau hasil dari kebudayaan dalam rangka melanggengkan posisi lelaki.
Sedangkan dalam pertunjukan “Malam Terakhir”  karya Yukio Mishima yang disutradari oleh Yanni Mae, secara sadar sutradaranya tidak berusaha untuk melakukan perlawanan terhadap ketimpangan gender. Pemilihan naskah untuk pertunjukan lebih didasarkan pada ketertarikan secara pribadi terhadap naskah yang bersangkutan, dan naskah tersebut dapat memberikan peluang yang cukup luas  untuk berkreativitas terhadap pemeran-pemeran wanita yang memainkan tokoh-tokoh yang ada dalam naskah tersebut. 
Oleh karena itu, naskah “Malam terakhir” yang digarap Yanni tidak membicarakan secara tidak langsung mengenai perempuan dengan segala persoalan gender yang mengepungnya.  Akan tetapi, bikan berarti dalam naskah tersebut tidak tercermin bagaimana sebetulnya sosok perempuan itu. 
 Dalam “Malam Terakhir” kecantikan yang dimiliki perempuan merupakan sumber bencana yang harus dihindari oleh lelaki. Ketika lelaki tertarik oleh kecantikan perempuan, ia harus hati-hati, karena kalau tidak dirinya akan terjerembab masuk ke menuju kesengsaraan yang sangat dalam. Laki-laki yang tidak hati-hati terhadap kecantikan perempuan ibarat membiarkan nyawanya masuk ke dalam liang lahat.
Jadi, melalui “Malam terakhir” Yanni Mae secara tidak sadar menjadi corong dari sebuah sistem patriarkat yang berusaha mempertahankan kondisi untuk tetap pincang.
Terakhir, Ratna Sarumpaet, yang menyutradari naskah karyanya sendiri, “Alia, Luka Serambi Mekah”, tampak sangat sadar dengan kondisi yang timpang yang ada di sekitarnya. Melalui pertunjukan tersebut, Ratna melihat bahwa ambisi kekuasaan laki-laki telah menjerumuskan kehidupan pada kekacaubalauan dan kesengsaraan. Dengan kondisi serupa itu, yang pertama merasakan dampaknya adalah perempuan. Perempuan dalam masyarakat patriarkat selalu dianggap makhluk nomor dua, malahan kadang-kadang dianggap tidak ada, oleh karena itu ketika peperangan dalam merebutkan dan mempertahankan kekuasaan terjadi, laki-laki tidak pernah berpikir tentang akibat-akibatnya terhadap diri perempuan.





[1] Istilah “teater” dalam tulisan ini merujuk pada teater modern Indonesia yang bermula di Barat. Saat istilah tersebut merujuk pada teater tradisional, rakyat, timur atau yang lainnya (bukan Barat), maka di depannya akan diberi imbuhan yang sesuai dengan maksud tulisan.