Dulu di tatar Sunda air melimpah, karena orang-orang tidak memandang dirinya terpisah dari alam. Kini air menjadi langka, karena orang-orang telah memandang dirinya sebagai subjek yang terpisah dari alam (objek). Saat akan menebang pohon, leluhur orang Sunda mengajarkan bahwa kita harus permisi dulu terhadap ‘penghuni’ pohon tersebut, namun kini hal itu dianggap tahayul, primitif, naif, musyrik, dan orang-orang seenaknya saja menebang pepohonan. Akibatnya? Kerusakan ekologi yang demikian parah! Longsor dan banjir terjadi di mana-mana. Orang-orang mati hanyut dan tertimbun di mana-mana. Air melimpah menjadi bah. Menyapu segalanya. Dan tololnya lagi, demi mesin hasrat (desiring-machine), perbuatan-perbuatan itu terus menerus diulang. Manusia hanya memiliki bayangan bahwa dirinya makhluk paling mulia, namun kebanyakan perilakunya mencerminkan makhluk paling idiot sejagat raya.
Hidup sudah tentu tidak bisa lepas dari air. Mungkin ada orang yang kuat tidak makan selama sebulan, tapi apakah dalam waktu yang sama orang masih bisa hidup walaupun tidak minum? Asal mulanya air, setitik mani, maka jadilah kehidupan. “Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok”, demikian sebuah peribahasa Sunda mengatakan, setitik demi setitik akhirnya menjadi sesuatu. Seharusnya kita ramah terhadap air, sebab kita adalah air. Tubuh manusia tujuh puluh persen terdiri dari air. Dua pertiga dari planet bumi juga air. Masihkah kita akan membiarkan air tetap kotor, bacin, mengalir menggenangi kota-kota, dan jadi cermin wajah peradaban yang bopeng?
Air itu mengalir, panta rei, kata Heraklitus, mengikuti kehidupan. Sifat air senantiasa mengikuti bentuk yang menjadi wadahnya. Ketika kita hanya mengumbar hasrat, tak perduli pada waktu yang manunggal antara dulu, kini, dan esok, maka air pun menjadi tercemar. Sebaliknya, jika kita ingin melihat sebuah peradaban itu bersih atau tidak, maka lihatlah kualitas airnya. Saat manusia memasukkan air yang tercemar ke dalam tubuhnya, maka kualitas hidupnya pun mengalami degradasi. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara psikis. Usia hidup semakin pendek. Tubuh mudah terkena energi negatif alias sakit. Stress. Depresi. Bahkan korupsi.
Tapi masih adakah air? Saat musim kemarau, bumi kering kerontang. Saat musim hujan, terjadi banjir di mana-mana. Air menjadi langka, dan saat banyak hanya menjadi bencana. Akhirnya kini tengah menganga lubang kecil pembunuhan antarsesama, perebutan sumber daya air, antara rakyat jelata dengan penguasa, antara negara miskin dan kaya. Sebelum lubang itu semakin melebar, tampaknya harus ada sikap nyata untuk menyembuhkan luka dalam tubuh bumi yang telah kita rogahala (diperlakukan semena-semena, perkosa), memelihara gunung, memelihara hutan, memelihara sungai dengan penuh kearifan, seperti para leluhur kita yang senantiasa ingat bahwa hari ini itu tidak bisa lepas dari masa lalu dan juga menentukan masa depan. Waktu yang manunggal.
Sekali lagi, kita adalah air. Coba bicara padanya, maka ia akan merespon sesuai dengan makna yang terdapat pada kata-kata. Demikian kira-kira menurut Masaru Emoto. Saat kita menempelkan kata “benci” pada sebotol air, maka ia akan membalasnya dengan “wajah yang berkerut”, tapi saat kita menempelkan kata “cinta”, maka air akan membentuk bunga kristal yang indah. Terdengarnya seperti tahayul. Tetapi demikianlah kesimpulan penelitiannya. Air itu mengandung hado, energi yang bisa menyembuhkan. Seperti para dukun yang memberi mantera pada sekendi air, lalu sang pasien meminumnya. Dan sembuh. Mungkin saja kesembuhannya itu akibat “efek placebo” (sugesti karena percaya). Namun kenyataan bahwa air mampu memberikan keseimbangan terhadap tubuh, terutama bila air diberi mantera atau kata-kata yang ramah, tampaknya telah memberikan bukti-bukti yang dapat dibenarkan meskipun masih dalam penyelidikan-penyelidikan tahap awal.
Akhirnya, air memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan. Akan tetapi orang-orang seolah-olah lupa akan hal itu. Padahal karuhun telah mengajarkannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada hutan larangan atau sirah cai (hulu sungai) yang pamali untuk didatangi. Caina herang lauknya beunang. Jika air bersih, tidak mengeruhkan suasana, maka kita bisa membaca ensensi segala sesuatu. Manusia harus selalu ingat lemah cai (tanah air), asal usul dari mana. Betapa hidup ini dekat dengan alam. Alam itu saudara. Tidak terpisahkan. “Aku” bukan subjek yang senantiasa memandang rendah terhadap objek-objek yang ada di sekitarku. “Aku” bagian dari alam, terintegrasi dalam “kita”, dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta. Sebetulnya, dalam logika karuhun, manusia tiba di dunia bukan loncat dari “dunia entah di mana”, tapi tumbuh dari bumi, seperti halnya pepohonan, hewan, air, atau yang lainnya. Maka ingatlah lemah cai, asal usul yang paling primordial!***
Blog ini berisi, terutama, tentang teater. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga berbicara seni secara umum, sastera, filsafat, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Hal ini disebabkan, saya, pembuat blog ini, memiliki minat yang luas terhadap berbagai bidang keilmuan. Untuk anda yang ingin menyalin tulisan saya,silakan dengan syarat menyebutkan sumber dan penulisnya. Terima kasih. Salam.