Nyanyian Seorang Pecundang
Sebuah Monolog Karya : Saefidier Ipit
Selamat malam, sodara-sodara. Maaf…Oh…maaf saya terlambat. Di jalan macet. Sekarang jam…astaga saya kasip! Seharusnya satu jam yang lalu saya telah memulai sandiwara ini. Maaf, sekali lagi maaf. Dasar sial! Padahal jarak antara rumah saya dengan gedung pertunjukan ini tidak terlalu jauh. Biasanya saya dapat menempuhnya paling lama hanya setengah jam dengan kecepatan kendaraan 60 km per jam. Tetapi karena kondisi lalu lintas di jalan-jalan kota ini tidak bersahabat, terpaksa saya harus menempuhnya hampir dua jam! Bayangkan, saya harus membuang waktu dengan hal yang sia-sia! Puah! Betapa jengkelnya! Jika ada di antara sodara-sodara yang bekerja di balai kota, tolong sampaikan pada Bapak Wali Kota, coba serius deh mengatasi persoalan kota yang akut ini. Jangan banyak wacana! Apalagi pada putaran yang akan datang konon dia ingin mencalonkan diri lagi menjadi orang nomor satu di kota tercinta ini!
Memang betul, sodara-sodara, seharusnya saya bisa merencanakan lebih siang menuju tempat pertunjukan ini, sehingga tidak terjebak dalam kemacetan seperti tadi. Apalagi sekarang malam minggu. Seolah-olah seluruh penduduk kota ini tumplek ke jalan-jalan untuk menikmati liburan. Ah, jangan salahkan saya. Tanya saja pada orang-orang produksi, mengapa sopir yang bernama Damin itu disuruh menjemput saya pada ba’da Magrib? Sodara-sodara, saya ingin membisikkan sesuatu pada Anda, tetapi tolong jangan bocorkan rahasia ini. Bukan apa-apa…saya tidak enak. Bagaimana pun mereka itu teman-teman saya. Hmm…begini ya…sebetulnya saya sudah jengkel dengan orang-orang produksi. Apalagi sutradara. Umumnya mereka bekerja kurang profesional. Tidak memiliki militansi untuk bekerja keras. Semuanya terlalu berleha-leha. Otak dan hatinya telah menjadi mesin produksi yang setiap saat menghasilkan barang-barang eksemplar yang serupa! Mereka terlalu tergantung pada kehadiran saya. “Sudahlah!” Demikian kira-kira orang-orang itu berkata. “Kita tidak perlu banyak berpikir lagi. Kita memiliki aktor hebat. Para penonton tidak ingin neko-neko melihat sekujur tubuhnya di atas panggung. Mau apa lagi? Malah kalau kita terlalu macam-macam mengotak-atik kehadirannya sebagai pemain, jangan-jangan para penonton itu bubar. Bila sudah demikian, celakalah hidup kita semua!”
Mereka tidak salah mengatakan saya sebagai aktor yang hebat. Setiap selesai tampil, pers dan para kritikus selalu menyanjung karya keaktoran saya. Saya tidak heran dengan semua itu, karena memang saya telah bekerja keras. Semenjak saya memutuskan untuk menjadi aktor, hampir tiap hari saya melatih tubuh saya. Juga olah sukma. Olah vokal. Konsentrasi. Apalagi ya? Eh, observasi… ? Ya…ya…betul observasi. Main anggar. Kadang-kadang latihan tari juga. Buku menjadi aktor Suyatna Anirun saya lalab. Buku Rendra…Stanislavski…Boleslavsky…siapa lagi ya? Itu tuh yang teater miskin…apa Kroto…Grotok…ah maaf, saya suka lupa menghapalkan nama…Augusto Boal…pokoknya demi menjadi aktor yang berkualitas, saya rakus membaca buku-buku akting. Hasilnya tidak sia-sia. Setelah sepuluh tahun berjuang, kini orang-orang di tanah air ini telah mengenal saya. Kalau boleh sombong, saya sekarang lebih populer daripada presiden!
Sodara-sodara tahu? Sebelumnya saya bukanlah apa-apa. Meskipun saya sering bermain teater dan bergabung dengan rombongan sandiwara yang terkenal, tetapi saya tidak pernah mendapatkan peran yang penting. Dulu saya sempat bermain dalam pertunjukan “Orang Kasar” karya Anton Chekov yang disutradarai oleh sutradara terkenal kita yang telah almarhum, Benjol. Saudara-sodara tahu? Hampir satu setengah jam saya berdiri kaku di atas panggung dengan tanpa bicara satu patah kata pun. Pada saat itu saya menjadi foto almarhum suami dari janda yang munafik itu. Benjol bilang: “Signifikan atau tidaknya eksistensimu di atas pentas tidak ditentukan oleh kuantitas dialog yang kamu lontarkan, tetapi oleh kualitas penghayatanmu terhadap peran yang kau mainkan!” Demi teater, ya betul, demi teater, sumpah sodara-sodara, saya pun pernah menjadi tokoh si Tumang dalam Sangkuriang karya Utuy Tatang Sontani. Saya menerima tawaran jadi si Tumang karena saya teringat ucapan guru saya, Sakosim: “Kamu tahu Jimmy, aktor yang sekarang bermukim di Paris itu? Dia pernah berperan sebagai Tumang dengan sangat mengesankan. Meskipun peran itu seperti kurang bermakna, tetapi bila dimainkan dengan penghayatan yang penuh, akan memberikan kesan mendalam kepada para penontonnya!” Penghayatan saya terhadap tokoh itu mungkin terlalu dalam. Pada saat itu saya merasa seolah-olah telah kehilangan diri saya, saya telah menjadi tokoh si Tumang, sehingga dengan tanpa sadar saya menubruk para Guriang yang sedang membawa obor. Hasilnya? Panggung nyaris terbakar. Para pemain panik. Tetapi api dapat segera dikendalikan. Untung para penonton tidak mengetahui insiden ini. Mereka menyangka adegan kebakaran itu sebagai bagian dari pertunjukan yang telah direncanakan. Selesai pertunjukan, sutarada memaki saya. Dikatannya saya sebagai aktor yang tidak sadar ruang!
Hari, bulan, dan tahun berlalu. Saya terus aktif berlatih dan bermain teater. Tetapi tetap saja saya hanya memainkan peran-peran yang kecil. Saya sempat berpikir, apa mungkin saya tidak berbakat menjadi aktor? Hingga suatu hari, saya ditawari main film…bayangkan, main film, sebagai tokoh utama lagi! Awalnya saya ragu. Betapa tidak? Telah lama saya tercekoki pandangan bahwa film itu seni industri, dan karena itu rendah. Sampah. Selama ini banyak orang bermain film bukan karena kemampuan aktingnya, tetapi karena kecantikan atau ketampanan wajahnya. Sebagai seniman yang memiliki idealisme, saya katakan dengan tegas pada produser yang menawari saya main film itu: Tidak! Tampaknya orang itu tidak putus asa, merayu terus menerus agar saya menerima tawarannya. Akhirnya jebol juga benteng pertahanan saya, atau lebih tepatnya, benteng keimanan saya…saya menerima tawaran itu. Hasilnya? Sodara-sodara ingat film saya yang pertama, “Lelaki Berkalung Emas”? Meledak di pasaran! Film itu bisa bertahan di bioskop-bioskop selama tiga bulan. Ya, sejak itulah saya jadi terkenal, banyak bermain film, dan sejak itu pula nasib saya berubah seratus delapan puluh derajat.
Sodara-sodara, sejak itu saya merasa aneh, aneh dengan sikap orang-orang terhadap saya, terutama sikap kawan-kawan saya di teater. Sudah tentu saya sekarang tidak terlalu bebas untuk bisa pergi ke mana-mana di negeri ini, karena kemana pun saya pergi saya selalu dikerumuni oleh para penggemar yang ingin difoto barenglah, minta tandatanganlah, bahkan minta diciumlah! Semua itu saya maklumi. Yang agak heran adalah sikap teman-teman teater saya, umumnya mereka sekarang terlihat segan dan hormat pada saya. Tidak hanya itu, sejak saya jadi terkenal, sutradara-sutradara yang dulu meremehkan saya, kini berbondong-bondong menawari saya main teater sebagai tokoh utama alias protagonis! Suatu tawaran yang belum pernah saya dapatkan ketika saya masih terlibat secara penuh di dunia teater. Tidak mentang-mentang saya sudah terkenal, atau karena perasaan sakit selalu diremehkan, lalu saya menolak tawaran itu. Tidak. Saya menerimanya. Sodara-sodara tahu? Betul saya sudah terkenal dan terlibat dalam dunia film, tetapi kulit luar saya hingga ke tulang sums-sum adalah teater. Saya tidak bisa lepas dari dunia teater. Cinta saya ada di teater. Hidup teater! Hidup teater!
Sungguh saya tidak menyangka pengalaman pertama saya jadi tokoh utama dalam pertunjukan teater juga mendapat sambutan hangat. Gedung pertunjukan selama satu minggu berturut-turut penuh oleh penonton. Media-media massa memuji penampilan saya yang konon penuh penghayatan dan sangat menyentuh itu. Produser dan sutradara yang selalu menangani saya di film melihat hal ini sebagai nilai tambah yang bisa dijual pada publik. Katanya: “Kamu harus terus bermain teater, babe, paling tidak setahun sekali atau dua kali. Ini akan memberikan suatu pencitraan yang baik untuk akting kamu di film. Nanti masyarakat akan percaya bahwa penampilanmu di dunia film tidak hanya bermodalkan tampang, tetapi juga karena seni aktingmu yang memukau!” Oleh karena itu, kenapa saya sekarang masih ada di hadapan sodara-sodara untuk bermain teater, terus terang saja, bukan karena semata-mata cinta saya pada teater saja, tetapi karena tuntutan dagang juga.
Astaga…pukul…ah, gila! Jam saya mati. Pukul berapa sekarang ya? Maaf sodara-sodara. Saya harus memulai sandiwara ini. Ah, inilah suatu kebiasaan jelek yang dimiliki oleh saya, jika sudah bercerita tentang hidup saya, seringkali saya lupa waktu. Tetapi saya yakin bahwa pada malam ini pasti banyak pula wartawan infotainment, ya wartawan gosip gitu, yang bisa memetik keuntungan dari keberterusterangan saya yang paling lugas dan bersahaja ini. Baiklah…kita mulai saja. Oh ya, hampir lupa…malam ini saya ingin membuat kejutan. Beruntunglah sodara-sodara yang hadir pada malam ini, karena akan melihat sesuatu yang berbeda dari penampilan-penampilan saya sebelumnya. Bila sebelumnya sodara-sodara suka melihat saya di atas panggung sebagai manusia yang compang-camping, rudin, nelangsa, tidak memiliki harapan, dan selalu mengumpat pada Tuhan, maka pada malam ini saya ingin membalikkan semua itu. Pada malam ini saya akan berperan sebagai manusia sukses, kaya, terhormat, dermawan, dan taat beragama. Jangan cemas. Sodara-sodara pasti terhibur, seperti halnya sodara-sodara terhibur dengan penampilan kesengsaraan saya selama ini. Memang ide ini mendadak datangnya. Tapi jangan takut. Saya ini aktor yang selalu berlatih, kalau meminjam istilah Kang Yatna, tubuh saya telah menjadi tanah lempung, bisa dijadikan apa saja, sekehendak hati saya. Jadi, meskipun pergantian peran ini terjadi secara mendadak, tanpa ada proses latihan peran terlebih dulu, tetapi saya jamin bahwa malam ini sodara-sodara akan bisa menikmati karya seni akting yang sungguh luar biasa!
Sodara-sodara tahu? Pada saat saya terjebak dalam kemacetan tadi, dalam mobil yang nyaris tidak bergerak itu saya berpikir bahwa hidup saya tak ubahnya seperti jalan lalu lintas yang macet itu. Ya, hidup saya memang macet! Orang-orang mungkin berpikir saya itu bahagia, terkenal, banyak uang. Terus terang saja: Tidak! Dari dulu hingga sekarang saya merasa bahwa saya orang yang bodoh, sengsara, dan tidak berguna. Saya telah menghabiskan waktu hidup saya dalam dunia akting. Saya telah berjuang demi seni akting. Tetapi apa hasilnya? Secara sepintas mungkin orang melihat bahwa saya telah berhasil. Lihatlah lebih dalam. Sodara-sodara tahu? Bila diperhatikan secara seksama, peran-peran yang saya mainkan baik di teater maupun film, semuanya sama, Saya selalu menjadi orang yang sengsara, rudin, dan mencemaskan banyak orang. Tentu saja saya bosan memainkan tokoh-tokoh yang flat seperti itu. Saya ingin memainkan tokoh yang lain, tokoh yang kaya, ramah, atau suka menabung. Berulang kali saya mengatakan keinginan saya ini pada produser. “Sudahlah, babe”. Kata produser saya. “Kau memang lebih cocok dengan peran-peran seperti itu. Jangan terlalu banyak macam-macam. Manusia dilahirkan dengan peran dan bakatnya masing-masing. Lagi pula, ingatlah. Dunia kita padat modal. Kita harus selalu memperhitungkan setiap rupiah yang keluar!”
Saya tidak percaya dengan pandangan fatalistik seperti itu! Fatalistik yang ekonomis! Aneh… Saya tidak bisa apa-apa. Saya terima saja cap yang diberikan produser itu. Juga di teater. Karena dia merasa berkepentingan dengan posisi saya sebagai pemain dalam film-film yang dibiayainya, dia menyuntikkan dana, mengintervensi, serta menentukan peran seperti apa yang harus saya mainkan dalam pertunjukan teater. Sutradara, para kru panggung, serta pendukung-pendukung pertunjukan lainnya, tidak bisa menyangkal. Mereka menerima kondisi ini seolah-olah sebagai kebenaran yang tidak dapat ditolak lagi. Saya tahu, semua itu terbentuk karena kekuasaan uang. Seperti sudah saya katakan, sekarang mereka seperti mesin produksi, mencetak hal yang sama dari saat ke saat. Mereka tak layak disebut seniman. Masa seniman tak memiliki kreativitas?
Sekarang saya sadar bahwa saya harus bisa keluar dari kondisi ini. Saya harus berontak dari kondisi yang macet ini. Ah, kemacetatan lalu lintas telah memberikan berkah pada saya. Jadi sebetulnya saya salah mengatakan bahwa saya telah menghabiskan waktu dengan sia-sia di kemacetan jalan yang bising itu! Justru karena kemacetan itulah saya jadi dapat inspirasi untuk keluar dari kondisi stagnan yang terus menerus melingkupi hidup saya. Saya tidak takut kehilangan segala hal yang telah saya raih. Saya mencintai kebebasan. Ya, seharusnya aktor mencintai kebebasan. Tanpa kebebasan, aktor tidak bisa menjadi apa-apa. Keterbelengguan sangat bertentangan dengan hakikat aktor yang harus bisa menjadi apa saja! Sekarang saya tidak takut produser, sutradara, atau siapa pun. Saya yakin bahwa saya ada di pihak yang benar. Persetan dengan mereka semua. Saya harus bisa menentukan hidup saya sendiri. Saya tidak ingin jadi mesin!
Maaf, sodara-sodara. Saya terlalu bersemangat. Maklumlah, terlampau lama saya digencet oleh ketidakberdayaan. Padahal sebetulnya saya bisa melepaskan diri dari ketidakberdayaan itu. Saya mohon, dukunglah saya. Tanpa dukungan dari sodara-sodara, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sekali lagi, saya sekarang akan memainkan tokoh yang berbeda dari sebelumnya. Sodara-sodara pasti tidak akan menyesal dengan mendukung saya, karena saya akan tampil semaksimal mungkin untuk memainkan tokoh yang baru ini. Jadi, tolonglah jangan beranjak dari tempat duduk sodara-sodara. Bila nanti ada sedikit cacat di sana-sini, harap dimaklum saja, karena baru malam inilah tokoh ini saya mainkan, secara spontan, tanpa latihan pula. Tentu saja belum sempurna betul. Meskipun begitu, sodara-sodara nanti akan melihat benih-benih yang menampakkan bakat keaktoran saya yang kaya. Sodara-sodara pasti sadar, bahwa saya bukan hanya bisa memainkan tokoh yang rudin saja, tetapi juga bisa bermetamorfosa menjadi tokoh yang kaya, bahagia, dan disenangi banyak orang.
Baiklah, pada awal pertunjukan yang segera akan saya mulai ini, pada saat lampu mulai menyala tokoh yang akan saya mainkan nanti akan berdiri di atas undakan itu. Jika ada musik, dalam bayangan saya ada ilustrasi komposisi klasik Simfoni No 3 Eroica karya Beethoven. Kemudian saya berjalan dengan penuh wibawa menuju bibir panggung dan kemudian berkata dengan suara yang lantang dan tegas: “Inilah saatnya menjadi manusia yang tidak mengorbankan orang lain, demi kepentingan diri sendiri”. Sodara-sodara tentu bertanya: “Mengapa ucapan seperti yang pertama kali meluncur dari mulut laki-laki yang gagah itu?” Pada adegan-adegan selanjutnya pasti pertanyaan itu akan terjawab. Oleh karena itu, sekali lagi saya memohon pada sodara-sodara, jangan beranjak dari tempat duduk masing-masing. Tolong matikan Hpnya, konsentrasilah ke atas panggung. Anak-anak jangan berisik ya. Ini bukan sandiwara rakyat. Jadi, berlakulah seperti nonton pertunjukan musik klasik.
Baiklah, saya mulai saja…Oh, seharusnya saya berdiri di sana. Tetapi…tidak. Kampungan. Terlalu didramatisir. Sesuatu yang berlebihan senantiasa tidak enak. Saya harus mengubah awal sandiwara ini. Bagaimana ya? Ah, mengapa saya jadi begitu gugup. Sodara-sodara tahu? Pada waktu pertama kali saya menerima tawaran film dari produser itu, saya juga gugup, persis sama dengan kegugupan yang sekarang saya rasakan. Betapa tidak? Tawaran main film itu bukan tawaran yang gratisan. Ya, betul, tidak ada yang gratis di dunia ini. Demikian pula dengan saya. Saya terpaksa melakukannya. Pasrah. Saudara-saudara tahu? Saya harus menjadi pacarnya. Tidak sodara-sodara. Saya hetero. Kalau orang awam bilang, normal. Tetapi, begitulah. Saya tidak bisa menolaknya. Saya ingin mengubah nasib. Kesempatan itu ada, meskipun harus dengan jalan yang sungguh menyakitkan. Saya harus menempuhnya. Saya yakin, sodara-sodara dapat membayangkan cerita selanjutnya. Mau apa lagi? Sebetulnya saya sedih. Bila teringat semua itu, saya selalu ingin menangis. Huk…huk…huk. Saya pikir saya bisa lepas dari kesengsaran yang melingkupi saya. Ternyata tidak. Saya tetap sengsara. Saya tidak bisa lepas dari kesengsaraan yang melilit hingga ke tulang belakang ini. Betulkan ini takdir? Tidak, tidak. Malam ini saya yakin bisa lepas dari semua itu. Ini kesempatan emas. Tidak boleh saya sia-siakan. Baiklah, saya tidak boleh larut dalam kesedihan. Bangkit! Bangkitlah wahai anak Adam!
Lho…kenapa blackout? Saya baru akan memulai sandiwara ini. Apa aliran listrik putus? Kang Yayat, tolong nyalakan lagi lampu panggungnya dong. Ya, begitu. Eh, tapi jangan semua, lampu panggung saja. Lampu auditoriumnya dimatikan. Sandiwara belum selesai, baru akan dimulai. Eh, mengapa kalian masuk ke panggung. Bukankah semestinya di belakang? Apa yang terjadi? Saya baru akan memulai… Apa-apaan nih? Hey… kenapa saya diikat? Saudara-saudara, tolong saya! Lepaskan! Lepaskan! Oh, saya gagal lagi. Saya betul-betul tidak bisa beranjak dari nasib ini!
(MC: Beri tepukan yang hangat untuk aktor kita yang hebat! Para penonton yang terhormat, demikianlah sajian sandiwara yang kami kira paling menyentuh kalbu semua selama riwayat aktor kita pembawakan peran itu di atas panggung. Kami berharap semoga kesengsaraan yang disajikannya bisa menjadi cermin untuk kita semua agar lebih berhati-hati dalam menempuh kehidupan ini. Ingatlah motto restoran Padang: “Jika anda puas, tolong sampaikan pada kawan-kawan anda, tetapi jika anda kecewa sampaikanlah pada kami”. Selamat malam. Sampai jumpa lagi pada pertunjukan selanjutnya. Terimakasih.).
Blog ini berisi, terutama, tentang teater. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga berbicara seni secara umum, sastera, filsafat, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Hal ini disebabkan, saya, pembuat blog ini, memiliki minat yang luas terhadap berbagai bidang keilmuan. Untuk anda yang ingin menyalin tulisan saya,silakan dengan syarat menyebutkan sumber dan penulisnya. Terima kasih. Salam.