Teori Teater Brecht
Oleh Ipit S. Dimyati
Intisari
Teori teater yang digagas Brecht merupakan antitesis dari teori tragedi Aristoteles yang disebutnya sebagai teater dramatik. Sedangkan teater yang berdasarkan gagasannya itu dinamai sebagai teater epik, yakni suatu jenis pertunjukan yang dianggapnya paling cocok untuk menghibur orang-orang yang berada dalam abad ilmu pengetahuan. Bila teater dramatik memiliki tujuan untuk mencapai katarsis, maka teater epik bertunjuan agar penonton sadar tentang kondisi kehidupan yang ada di sekelilingnya. Dalam teater epik empati, atau keterlibatan emosional penonton terhadap pertunjukan, dihindarkan, tapi justeru ia disadarkan bahwa yang ditontonnya itu bukan peristiwa sungguhan, namun hanya pura-pura. Untuk mencapai ke arah itu, maka diciptakanlah V-Effect atau biasa disebut efek alienasi. Melalui efek alienasi itulah penonton seolah-olah diganggu kenikmatannya dalam menyaksikan tuturan-tuturan peristiwa di atas pentas. Diharapkan dengan terjadi seperti itu, penonton dapat menjaga jarak dengan yang ditontonnya, dan kemudian bisa menilai secara kritis masalah-masalah yang tersaji dalam pertunjukan yang sedang dinikmatinya tersebut. Teater epik tampak memiliki kemiripan dengan teater tradisional Indonesia yang senantiasa membaurkan antara dunia nyata dan dunia reka. Tapi apakah “interupsi-interupsi” yang seolah-olah mengganggu kenikmatan dalam menyaksikan pertunjukan teater akan memiliki efek yang sama dengan teater Barat? Apakah teater tradisional Indonesia itu tepat dianggap sebagai teater epik Brecht?
Berabad-abad lamanya teater Barat dipengaruhi oleh teori Aristoteles tentang tragedi. Tak ada yang mampu mengimbangi teori tersebut, hingga akhirnya muncul Antonine Artaud dan Berthold Brecht yang menawarkan teori-teori alternatif bagi pertunjukan teater (Monaco , tanpa tahun: 12). Bila Artaud dengan teorinya tersebut mencoba menawarkan satu bentuk teater yang mampu menggali bagian terdalam dari manusia (teater metafisik atau teater kekejaman), Brecht menawarkan teater yang menjadikan orang-orang yang terlibat di dalamnya peka atau perduli terhadap kondisi sosial yang ada di sekitarnya, yaitu melalui bentuk teater yang disebutnya teater epik.
Tulisan ini tidak akan membahas teori Artaud, tetapi akan mencoba untuk berbicara tentang teori teater yang digagas oleh Brecht. Namun sebelum itu, tampaknya perlu terlebih dulu mengungkapkan sedikit tentang teori tragedi Aristoteles, karena teori Brecht boleh dikatakan sebagai antitesis dari teori bersangkutan.
Tragedi: Mencapai Katarsis
Dalam tulisannya yang berjudul Poetics, Aristoteles mendefinisikan tragedi sebagai berikut:
….is the imitation of a good action, which is complete and of a certain length, by means of language made pleasing for each part separately; it realies in its various elements not on narrative but on acting; through pity and fear it achieves the purgation (catharsis) of such emotions
(merupakan imitasi dari laku yang bagus, dan dari seseorang yang memiliki pengaruh yang besar, dengan memakai bahasa yang menyenangkan untuk setiap bagian secara terpisah; semua itu bersandar pada bermacam-macam unsurnya, tidak diceritakan tetapi yang dilakukan; melalui rasa kasihan dan takut, untuk mencapai katarsis dari emosi-emosi seperti itu.)
Sebetulnya definisi tragedi di atas tidak selalu dipatuhi oleh para pengarang drama, seperti misalnya bahwa dalam tragedi tokoh utamanya harus memiliki pengaruh yang besar atau orang-orang yang dianggap agung. Sebagai salah satu contoh, dalam Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, meskipun menurut sementara kritikus merupakan drama tragedi tapi tokoh utamanya hanya seorang ayah yang bekerja sebagai salesman, bukan orang yang agung atau memiliki pengaruh yang besar di masyarakat.
Tapi tampaknya persoalan tokoh utama bukanlah persoalan subtantif dari teori Aristoteles. Ada yang lebih esensial dari itu, yaitu tujuan tragedi: katarsis (penyucian jiwa). Tujuan ini seolah-olah menjadi hal yang paling benar dan tepat selama berabad-abad, sebab tak ada orang yang membantahnya, baik melalui penyajian teori maupun karya-karya drama.
Penciptaan rasa kasihan dan takut dalam tragedi tidak melalui cara-cara yang diceritakan, tapi melalui serangkaian aksi yang menyambung antara satu dengan lainnya yang dilakukan oleh tokoh utama. Menurut Aristoteles lahirnya lakuan di atas pentas bukanlah akibat dari watak (karakter), tapi karakter merupakan hasil sampingan dari laku: “Without action there could be no tragedi, whereas a tragedy without characterization is possible” (Tanpa lakuan tidak akan ada tragedi, tapi tragedi tanpa pengkarakterisasian masih memungkinkan) (Aristoteles, 1982: 14).
Tampaknya lakuan atau aksi-aksi dari tokoh utama penting untuk ditonjolkan dalam tragedi, agar penonton bisa merasakan dampak psikologisnya secara mendalam. Karena itulah kemudian protagonis dalam tragedi melakukan tindakan-tindakan secara konsisten sehingga timbul kesan dalam diri penonton bahwa tokoh tersebut sombong, namun sama sekali ia tak mengetahuinya. Tokoh Tragedi memiliki cacat dalam aksi-aksinya, memiliki hamartia.
Namun agar katarsis tercapai, pada saat permulaan pertunjukan para penonton dalam tragedi digiring untuk masuk ke dalam diri protagonis sehingga terciptalah empati, yakni perasaan seolah-olah kita sendiri mengalami apa yang sebenarnya terjadi pada orang lain. Empati merupakan suatu hubungan emosional antara tokoh dan penontonnya. Untuk mencapai ke arah tersebut, biasanya aksi-aksi tokoh utama tragedi bergerak menuju kebahagiaan. Setelah itu kemudian ia melaju ke arah kemalangan yang sama sekali tidak disadarinya. Timbullah dalam diri penonton rasa kasihan yang mendalam terhadap tokoh yang telah diberi empati tersebut. Hingga tokoh itu terjatuh. Pada saat kondisi demikian, menurut Aristoteles, penonton sendiri mengakui hamartia yang dimilikinya. Namun ia bersukur bahwa itu tidak menimpa dirinya, tapi hanya menimpa tokoh yang ada di atas pentas.
Suatu kemalangan akibat kesombongan, ketidaktahuan dan kekerasan kepala yang diperlihatkan tokoh tragedi akhirnya menimbulkan akibat-akibat yang sangat keras, seperti kematian dirinya sendiri atau kematian orang-orang yang dicintainya. Pada saat peristiwa itulah kemudian dalam diri penonton timbul suatu kesadaran bahwa ia tak mungkin bisa melawan hukum-hukum yang telah ditetapkan, hukum-hukum dewa atau alam yang memang sudah demikian. Di sinilah penyucian jiwa terjadi. Penonton seperti membersihkan diri dan hamartianya melalui peristiwa-peristiwa menakutkan yang terjadi di atas pentas. Pemahaman baru telah didapatkan dari pertunjukan tragedi yang baru saja disaksikannya.
Teater Epik & V-Effect
Brecht yang menyebut teori Aristoteles sebagai teater dramatik secara tegas menolaknya. Menurutnya tujuan utama pertunjukan teater bukanlah menumbuhkan katarsis, tapi menyadarkan orang-orang yang terlibat di dalamnya (para pemeran dan penonton) tentang kondisi sosial masyarakat tempat mereka hidup yang dapat dan senantiasa berubah. Nasib manusia, situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya, bukanlah sesuatu yang sudah terberi, dan sudah dari “sono”-nya demikian, tapi merupakan suatu konstruksi, buatan manusia, dan karena itu kalau manusia mau, ia dapat mengubahnya. Hukum-hukum dewa hanyalah suatu buatan yang dirasionalisasikan oleh manusia yang sedang berkuasa. Brecht sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Karl Marx. Oleh karena itu, untuk memahami teori Brecht, menyinggung sedikit pemikiran Marx dapat membantu dalam mempermudah pemahaman.
Dalam pandangan Marx yang menentukan perkembangan masyarakat bukanlah kesadaran, dengan demikian bukan yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya, tapi keadaan masyarakat yang nyata (Magnes-Suseno, 1999: 138). Bagi Marx manusia itu ditentukan oleh produksi mereka, baik yang diproduksinya maupun cara berproduksinya. Cara masyarakat menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup itulah yang disebut sebagai keadaan masyarakat, dan cara itulah yang menentukan kesadaran manusia. Kata Marx seperti yang dikutip Magnes-Suseno (1999: 140): “Kesadaran tidak mungkin lain dari yang keadaan yang disadari, dan keadaan manusia adalah proses manusia yang sungguh-sungguh.” Oleh sebab itu manusia cenderung berfikir sesuai dengan kepentingannya. Ia hanya menganggap baik apa yang dianggap baik bila dapat menunjang kepentingan eksistensinya, dan buruk bila mengancam eksistensinya.
Menurut Marx masyarakat terdiri dari dua kelas, yaitu kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai, atau kelas pemilik peralatan produksi dan kelas buruh, atau pula kelas yang menindas dan kelas yang tertindas.
Kelas yang pertama diisi oleh orang-orang yang telah diuntungkan oleh situasi dan kondisi yang ada, oleh karena itu mereka cenderung untuk mempertahankannya. Berbagai cara dilakukan untuk maksud itu, salah satunya adalah melakukan semacam mistifikasi terhadap norma-norma yang berlaku melalui berbagai institusi kemasyarakatan, sehingga seolah-olah kondisi yang ada itu merupakan suatu keadaan yang tak lagi bisa diubah; bila ada orang yang berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan maka ia akan dikenai sanksi dari yang paling ringan seperti dikucilkan dari pergaulan, hingga yang terberat, yakni penghilangan eksistensinya di dunia. Logika yang dikembangkan dalam kehidupan masyarakat biasanya adalah: Situasi dan kondisi yang telah tercipta itu merupakan pemberian Tuhan, hukum Tuhan, dan oleh karena itu bila ada yang berusaha untuk mengubahnya berarti ia telah menentang Tuhan.
Marx merupakan orang yang berjasa dalam membongkar topeng-topeng atau penipuan-penipuan struktural yang sengaja diciptakan oleh kelas masyarakat tertentu dalam rangka mempertahankan status quo. Ia mengatakan bahwa ada “kekerasan struktural” yang tersembunyi yang sengaja diciptakan dalam kesamar-samaran sejarah orang bersama. Adanya tanpa dikenal orang dengan jelas. Kekerasan struktural itu bersembunyi dalam hal-hal yang tampil dengan sendirinya begitu saja dalam kehidupan sosial ekonomi, di dalam hukum-hukum yang telah dipastikan, di dalam orde politik yang berlaku. Baik yang tertindas maupun menindas mungkin tidak menyadari bahwa kondisi dan situasi yang ada bisa berubah (Kwant, 1975: 48).
Brecht tampaknya begitu terkesan dengan pemikiran Karl Marx tersebut, sehingga teori-teori teaternya begitu terpaut dengan wacana marxisme. Justru di situlah kejeniusan Brecht yang telah banyak diakui oleh para kritikus teater, bahwa ia sanggup memadukan konsep-konsep epik tentang teater yang sebetulnya telah dilakukan oleh Erwin Piscator dan Max Reinhardt dengan wacana-wacana marxisme dalam suatu sistematika, sehingga teori yang dihasilkannya menjadi miliknya yang khas.
Brecht menamakan teori teaternya sebagai epik. Untuk membedakannya dengan Aristoteles, ia telah membuat daftar perbandingan yang berisi perbedaan-perbedaan dari keduanya (Brecht, 1978: 37):
Teater Dramatik | Teater Epik |
- lakuan (plot) - melibatkan penonton dalam situasi panggung - menghabiskan aktivitasnya - membekali penonton dengan sensasi - pengalaman - anjuran/saran - perasaan-perasaan naluriah diawetkan - penonton berada di tengah-tengah, bersama-sama mengalami - keberadaan manusia diterima sebagai kebenaran - manusia tidak dapat berubah - memandang pada akhir - sati adegan mendahului yang lainnya - pertumbuhan - perkembangan yang linear - determinisme evolusioner - manusia sebagai hal yang sudah ditentukan - kesadaran menentukan keadaan - rasa | - naratif - menjadikan penonton sebagai pengamat, tetapi - membangkitkan aktivitasnya - memaksa penonton untuk mengambil keputusan - gambaran tentang dunia - argumentasi - dibawa ke suatu pengenalan - penonton berdiri di luar, mempelajari - keberadaan manusia sebagai obyek penyelidikan - manusia senantiasa berubah - memandang pada bagian - setiap adegan mandiri - montase - garisnya berliku-liku - lompatan-lompatan - manusia sebagai proses - keadaan masyarakat menentukan kesadaran - pikiran |
Dari daftar di atas terlihat bahwa teater epik begitu kontras perbedaannya dengan teater dramatik. Hal ini menandakan bahwa Brecht dengan tegas menolak teori yang dirumuskan Aristoteles. Tetapi meskipun begitu, tampaknya ada satu hal yang disetujui oleh Brecht dari pendapat Aristoteles, yakni fungsi menghibur. Dalam defini drama tragedi Aristoteles yang telah dikutip, pemikir Yunani Klasik ini telah secara secara eksplisit menyebutkan fungsi menghibur, yaitu ketika ia mengatakan: “…made pleasing for each part separtely.” Menurut Brecht fungsi yang paling mulia dari kesenian umumnya, dan teater khususnya, adalah menghibur manusia. Dikatakan olehnya:
Teater berarti mereproduksi peristiwa-peristiwa antara manusia, baik yang pernah terjadi maupun yang direka, dan penyajian itu dimaksudkan untuk menghibur. Setidaknya inilah yang dimaksudkan untuk jika kita berbicara tentang teater, apakah itu yang lama ataupun yang baru (Brecht, 1980: 251).
Bila fungsi menghibur itu diabaikan, menurut Brecht, misalnya menjadikannya sebagai pasaran moral, maka wibawa teater menjadi terinjak-injak. Bukan berarti bahwa persoalan moral tidak boleh masuk ke dalam teater, tetapi hal-hal yang berurusan dengan moral tersebut harus menjadi sesuatu yang menyenangkan, atau sesuatu yang menghibur para penontonnya. Tujuan utama penonton pergi ke gedung pertunjukan adalah agar dia bisa terhibur oleh pertunjukan teater yang ditontonnya.
Persoalannya bahwa sesuatu yang menghibur itu begitu relatif antara satu jaman dengan jaman lainnya. Artinya, sesuatu yang awalnya menghibur, pada satu jaman tertentu, belum tentu akan menghibur orang-orang yang berada di jaman yang lain. Anak-anak muda perkotaan pada umumnya sudah merasa tidak terhibur lagi dengan pertunjukan wayang kulit/golek, tapi bagi anak-anak di jaman baheula, justru pertunjukan wayang menjadi suatu hiburan yang paling digemari dan disenangi.
Namun meskipun jenis-jenis kesenian tertentu sudah tidak dapat menghibur lagi bagi orang-orang yang datang kemudian, bukan berarti semua jenis kesenian masa lalu tak lagi bisa dinikmati oleh para pewarisnya. Tragedi yang dianggap klasik seperti karya Sophocles, Shakespeare, da Racine, sampai detik ini masih mampu mempesona banyak orang. Begitu pula dengan pertunjukan wayang, kendati telah banyak ditinggalkan, tak sedikit orang-orang yang merasa terhibur, dan dengan demikian dapat menikmati pertunjukan tersebut.
Menurut Brecht dalam jangka waktu yang begitu lama, orang-orang merasa terhibur oleh teater-teater model Aristotelian yang menitikberatkan para penontonnya pada emfati, perasaan terlibat dengan pertunjukan, dengan tokoh-tokoh yang ada di atas panggung, sehingga timbul rasa kasihan dan takut, dan akhirnya tercapailah tujuan utamanya: katarsis. Bagi Brecht jenis tontonan seperti ini meskipun bisa menghibur, bukanlah jenis hiburan yang cocok dan tepat untuk masa kini (pada masa Brecht hidup). Masa kini, menurut Brecht, merupakan masa abad ilmu pengetahuan, dengan demikian jenis hiburannya pun harus yang cocok dengan kondisi-kondisi abad baru itu:
Kalau kita mencari hiburan yang bercorak langsung, mencari kenikmatan yang merangkum dan menyeluruh, yang berada dalam jangkauan teater untuk menyajikan gambaran-gambaran kebersamaan manusia, maka kita harus memandang diri kita sebagai anak dari suatu abad ilmu pengetahuan. Kehidupan bersama kita sebagai manusia – dan ini berarti hidup kita – ditentukan oleh suatu ukuran ilmu pengetahuan yang baru sama sekali (Brecht, 1980: 255).
Lalu bentuk teater seperti apakah yang cocok untuk menghibur orang-orang yang merasa sebagai “anak dari suatu abad ilmu pengetahuan” itu? Jawabannya jelas: teater epik. Secara etimologis epik berasal dari kata Yunani, epos, yang berarti kisah, kata. Di dalam memperbandingkan antara teater dramatik dan epik seperti tersebut di atas, ada satu poin yang ditulis bahwa teater konvensional itu berdasarkan plot, sedangkan teater epik bersifat naratif. Tentu saja sifat naratif itu dimaksudkan untuk menjaga agar supaya tidak terjadi suatu identifikasi yang dilakukan penonton terhadap tokoh-tokoh yang ada di atas pentas, karena bila itu dilakukan berarti penonton akan tenggelam ke dalam pertunjukan. Kalau hal seperti itu terjadi berarti pertunjukan itu telah menafikan penonton untuk bersifat kritis yang justru menjadi tujuan utama dalam teater epik. Teater yang digagas Brecht disebut pula sebagai teater didaktik, artinya teater yang mencoba membangkitkan daya kritis penonton terhadap persoalan-persoalan sedang “diperbincangkan” di atas pentas; teater yang menyadarkan para penontonnya bahwa hidup manusia adalah suatu proses, dan karena itu manusia dapat membebaskan diri dari keadaan-keadaan hidup yang melingkupinya. Seperti yang dikatakan Brecht (1980: 271): “Transformasi masyarakat mendapatkan suatu tindakan pembebasan, dan adalah kegembiraan dalam membebaskan itulah seharusnya disampaikan teater abad ilmu pengetahuan ini”.
Untuk membangkitkan dan menjaga daya kritis penonton, teater epik selalu berusaha menghindari keterlibatan penonton ke dalam pertunjukan. Penonton justru dijadikan sebagai pengamat segala peristiwa yang terjadi di atas pentas. Emosi-emosi yang bisa menciptakan emfati diusahakan untuk tidak dilibatkan, sedangkan pikirannya secara terus menerus diajak untuk selalu bertanya tentang kondisi-kondisi yang tercipta di hadapannya.
Tapi bagaimanakah caranya agar penonton bisa jadi pengamat, berdiri di luar pertunjukan, dan lebih mengedepankan aktivitas pikiran daripada emosi? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus memfokuskan pada satu konsep yang telah ditemukan oleh Brecht dalam rangka mengungkapkan ide-idenya, yaitu verfremdungeffect (sering disingkat menjadiV-Effect), atau efek alienasi/pengasingan. Kata itu sebetulnya bukan hasil penemuan Brecht. Ia hanya memberiarti baru dan menerjemahkannya dari bahasa Rusia, Ostrannenie. Awalnya kata itu digunakan oleh Victor Shklovsy, seorang formalis terkemuka di Rusia, untuk menunjukkan transformasi dari suatu persepsi “biasa” atau “otomatis” ke dalam perasaan “puitis”. Pada saat melawat ke Moscow , kata itu telah terdengar oleh telinga Brecht. Pada saat bersamaan, ia dapat melihat contoh hidup dari teknik akting yang baru dalam pribadi seorang aktor Opera Peking China, Mei Lan Fang, yang menyajikan teknik akting tanpa makeup, kostum atau cahaya lampu, dengan gaya yang santai. Kesaksian dalam melihat gaya akting itu ia tulis menjadi satu artikel yang berjudul “Alienation Effect in Chinese Acting”. Dalam citarasa Shklovsy, alienasi menunjukkan suatu proses estetis secara murni; suatu laku imajinasi, paling tidak dari masa romantisme, tapi dalam konsep Brecht kata itu dilepaskan dari pengertian awalnya, dan menerapkannya pada wilayah kehidupan manusia (Holthusen, 1962: 108-109).
Dalam pengertian Brecht V-Effect merupakan penyajian yang tetap memungkinkan dikenalnya apa yang ditiru, tetapi juga sekaligus menjadi sesuatu yang asing. Suatu kondisi masyarakat, misalnya, yang kita saksikan sehari-hari secara berulang-ulang sehingga ia menjadi lazim, dan kita sudah tidak menyadari lagi bahwa kondisi itu sebetulnya adalah suatu konstruksi, bangunan yang sengaja diciptakan oleh orang-orang yang sudah diuntungkan oleh kondisi tersebut. Agar tumbuh daya kritis kita terhadap kondisi masyarakat bersangkutan, maka kelaziman itu harus diasingkan, atau dijadikan tampak aneh, sehingga kita yang biasanya tidak perduli dengan kondisi yang selalu berulang itu menjadi bertanya-tanya. Membuatnya menjadi aneh atau tak lazim, itulah yang dihasilkan oleh V-Effect.
Pertunjukan teater yang mengintegrasikan V-Effect di dalamnya biasanya mampu menjaga penonton untuk tetap kritis terhadap apa yang ditontonnya. Selain itu, V-Effect senantiasa menyadarkan penonton bahwa yang ditontonnya bukanlah cerita sesungguhnya, tapi hanya merupakan sandiwara, suatu peristiwa hasil rekayasa yang sengaja dikonstruksi. Setelah menyaksikan pertunjukan Oidipus karya Sophocles, misalnya, mungkin dalam diri penonton tumbuh rasa takut untuk mengalami nasib seperti yang dialami Oidipus yang telas berusaha lari dari hukum dewa. Oleh sebab ketakutan yang telah ditumbuhkan oleh pertunjukan, kita semakin menyadari bahwa manusia tak mungkin bisa melawan atau mengubah nasib yang telah ditentukan semenjak awal oleh dewa. Manusia menjadi tak berdaya, dan karena itu semesti legowo menerima apapun yang telah ditimpakan dewa terhadapnya.
Kondisi ketidakberdayaan itu memang sengaja diciptakan dalam teater dramatik. Berbeda dengan teater epik, dengan adanya V-Effect dalam pertunjukan teater, penonton dijada untuk tidak hanyut ke dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas pentas. Dalam drama karya Brecht, Puntila, misalnya, V-Effect dihadirkan dengan menciptakan seorang tokoh, Puntila, yang tampak aneh dan tak lazim, yaitu bahwa ia menjadi seorang tuan yang terlihat kejam dan tidak berperikemanusiaan saat berada dalam kondisi sadar, namun sangat begitu humanis dan penuh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan ketika berada dalam kondisi mabuk. Tokoh seperti itu tentu saja sengaja dihadirkan agar pembaca atau penonton pertunjukan drama tersebut tidak melakukan identifikasi yang bisa membangkitkan emfati sehingga daya kritis penonton menjadi tumpul. V-Effect dalam teater Brecht ibarat interupsi bagi keterhanyutan emosional. Karena itu, kemudian penonton disodori persoalan-persoalan untuk dipikirkan secara bersama-sama. Itulah sebabnya mengapa dalam drama-dramanya Brecht tidak selalu menyertakan kesimpulan-kesimpulan akhir; ia hanya menyajikan persoalan, dan melalui daya kritisnya yang dibangkitkan, penonton kemudian diajak untuk mencari jalan keluar nya secara bersama-sama.
Dalam upayanya untuk menghadirkan V-Effect, Brecht telah menciptakan beberapa metode atau cara seperti struktur cerita yang ditampilkan dalam bentuk syair dan nyanyian, komentar-komentar yang diarahkan pada penonton pada saat mereka menyaksikan pertunjukan baik dari orang yang bertindak sebagai dalang maupun pemain sendiri, kata-kata yang digunakan menggunakan kata-kata yang biasa dipergunakan dalam perbincangan sehari-hari, menghadirkan karakter-karakter yang memiliki sifat yang kurang wajar, tata panggung tidakdibuat ilusif, penghadiran cahaya atau proyekyor dan film yang mencolok di dalam pertunjukan, dan sebagainya.
Bagi para pemain pun agar bisa menciptakan V-Effect, menurut Brecht, jangan berpura-pura atau berusaha untuk mengubah diri secara total menjadi tokoh yang sedang dimainkannya. Bila ada aktor yang berusaha untuk menjadi Raja Lear, misalnya, maka aktor tersebut akan mematikan tokoh yang dimainkannya. Kata Brecht, pemain/aktor semata-mata harus hanya menunjukkan tokohnya. Tapi meskipun begitu, tidak berarti bahwa aktor harus bermain secara dingin. Aktor hanya menjada agar perasaan-perasaannya tidak sekali-kali menjadi peran-peran yang dimainkannya. Hal itu mestinya dilakukan agar penonton tidak menjadi perasaan tokoh yang ditontonnya. Teknik akting seperti itu disebut Brecht sebagai teknik epik dalam bermain.
Antara Imanensi & Evaluasi
Seperti sudah disebutkan bahwa teater dramatik selalu berusaha melibatkan penonton ke dalam pertunjukan sehingga sampailah pada tujuan utamanya: katarsis. Untuk mencapai arah itu tentu saja upaya meyakinkan penonton dengan menciptakan ilusi-ilusi sehingga mereka yakin bahwa yang terjadi di atas pentas merupakan kenyataan yang terjadi sesungguhnya, menjadi ‘alat’ yang pokok yang terus dijaga kehadirannya. Bahasa yang menyenangkan, laku yang bagus, dan sebagainya adalah unsur-unsur yang selalu disertakan dalam pertunjukan teater dramatik untuk menghadirkan efek ilusif tersebut. Dengan demikian, keterlibatan secara emosional para penonton menyebabkan mereka terpuruk pada pertunjukan, atau dalam bahasa Brecht, habis aktivitasnya. Penonton lalu menjadi pasif, menerima saja segala nasib yang menimpanya. Seolah-olah ia terkurung oleh kenyataan sekitarnya. Perhatikan gambar di bawah ini:
Pr
P
Pr = pertunjukan
P = penonton
Karena dalam teater dramatik penonton sengaja dilibatkan ke dalam pertunjukan, maka ia berada di tengah-tengah pertunjukan tersebut. Ia terangkum ke dalam pertunjukan, atau lebih tepat terkurung di dalamnya. Bila kita meminjam istilah van Perseun, kita bisa menyebutkan bahwa teater dramatik merupakan teater yang berada dalam tingkatan imanensi (keterkurungan). Saat berada dalam keterkurungan, manusia seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa; ia hanya menerima kehidupan sesuai dengan kondisi yang telah ada. Usaha untuk melepaskan dari kondisi keterkurungan ini mungkin belum ada, karena daya kritis dari akalnya telah dilumpuhkan oleh luapan emosi yang melandanya.
P
Tanda panah dari empat arah dalam gambar di atas dimaksudkan sebagai kenyataan pentas yang mengurung penonton. Sedangkan penonton berada di tengah-tengah tidak berdaya untuk melepaskan diri dari keterklurungan tersebut.
Sebagai suatu antitesis terhadap jenis teater dramatik, teater epik yang ditawarkan Brecht tentu saja memiliki perbedaan-perbedaan yang mencolok. Kita telah melihat bahwa yang diaktifkan oleh teater epik bukanlah emosi, melainkan pikiran atau daya kekritisan para penonton dalam melihat fenomena-fenomena yang semula terlihat lazim, lumrah atau biasa, menjadi tidak biasa. Bila teater dramatik memiliki maksud menenggelamkan para penonton ke dalam pentas, teater epik justru menjaga jarak antara penonton dengan yang ditonton. Penonton menjadi pengamat, dan karena itu ia berdiri di luar pertunjukan. Bila digambarkan, posisi teater epik dengan penontonnya akan seperti di bawah ini:
Pr P
Agar terjadi posisi seperti di atas teater epik dalam pertunjukannya kemudian menghadirkan efek alienasi atau V-Effect. Satu fungsi V-Effect, selain yang telah disebutkan, adalah menyadarkan para penonton bahwa yang ditontonnya bukanlah sungguhan, tapi hanya sandiwara yang sengaja dibangun oleh para awak pentas dan sutradara. Kesadaran bahwa semua itu sandiwara penting, sebagai latihan untuk melihat fenomena kehidupan yang sebenarnya sama dengan sandiwara, yaitu dibangun/dikontruksi sedemikian rupa untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu dan menyengsarakan pihak-pihak lain.
Posisi pengamat yang menggiatkan aktivitas pikiran dalam menyaksikan pertunjukan, penonton dalam teater epik tidak berada lagi dalam keterkurungan (imanensi), tapi sudah berada dalam tahap evaluasi. Yaitu menilai segala sesuatu yang berada di hadapannya. Posisi ini bisa digambarkan seperti berikut:
P
Dalam gambar tersebut terlihat, meskipun penonton berada di tengah-tengah pertunjukan, tapi sebetulnya secara emosional dan pikiran ia tetap berada di luarnya. Pertunjukan tidak bisa mengurungnya yang mengakibatkan keterpurukan penonton ke dalam peristiwa di atas pentas, tapi karena ada V-Effect, justru mata penonton dengan daya kritis pikirannya (digambarkan dengan panah yang bersumber dari arah penonton), berlaku sebagai penilai dari suatu kondisi yang ada. Pada suatu kesempatan Augusto Boal, seorang dramaturg dari Amerika Latin, mengungkapkan bahwa teater Brecht kurang pas disebut sebagai teater pembebasan, sebab ia tetap menjadikan penontonnya hanya sebagai penonton, tidak berusaha untuk mengajak dan melibatkan para penonton tersebut untuk merebut alat-alat produksi berteater; dalam teater epik Brecht, Boal melihat bahwa penonton masih dibiarkan pasif, dan menurutnya semestinya penonton dibawa aktif sebagai pelaku berteater; bila itu dilakukan, dengan demikian, ujar Boal, teater jadi ajang dalam melatih masyarakat (penonton) untuk melakukan revolusi. Memang begitulah teater epik Brecht, ia membawa para penonton hanya sampai tahap evaluasi, bukan dimaksudkan untuk mencapai tahap transendensi atau mengatasi persoalan-persoalan, tapi sekedar latihan untuk selalu menyadari bahwa kondisi dan situasi kehidupan itu berubah dan selalu (akan) berubah.
Kalau diperhatikan secara seksama, penciptaan V-Effect dalam teater epik tampak demikian sentral untuk mencapai tujuan pertunjukan, yakni penyadaran tentang kehidupan yang tidak membeku di satu titik kondisi atau situasi. Tampaknya pertunjukan teater epik bisa dikatakan gagal, apabila V-Effect yang dihadirkan oleh para penggarapnya tidak mampu menjadi interupsi-interupsi yang mengganggu ketenangan para penonton dalam menikmati cerita di atas panngung. Mengganggu di sini bukan dalam arti bahwa penonton meninggalkan auditorium di tengah-tengah pertunjukan yang sedang berlangsung misalnya, tetapi – seperti yang dikatakan Gassner (1951: 91) – membangkitkan energi penonton yang sedang duduk dengan nyaman di kursinya ketika menikmati cerita yang menyebabkan kehilangan dirinya dalam pembiusan emosioanl.
Brecht dan Teater Indonesia
Entah sejak kapan ide-ide teater Brecht masuk ke khasanah peteateran Indonesia . Ketika ATNI dibentuk, sekolah teater pertama di Indonesia itu lebih banyak berorientasi pada Stanislavsky. Mungkin momentumnya saat Rendra bersama Bengkel Teater mementaskan Lingkaran Kapur Putih pada tahun 1975 di Yogyakarta dan Jakarta, ide-ide teater Brecht mulai jadi perbincangan para pekerja dan kritisi teater Indonesia. Tapi meskipun pengenalannya agak lambat, Brecht bersama teori-teori teaternya tampak memiliki suatu hubungan yang istimewa dengan teater (modern) Indonesia . Artinya, karena teori Brecht mengenai teater dipengaruhi oleh teater Timur (Cina), ia menjadi hal yang relatif akrab dan tidak terlalu asing dalam kehidupan berkesenian orang-orang Indonesia . Gagasan-gagasan Brecht seolah-olah telah berwujud dalam teater tradisonal Indonesia sebelum gagasan-gagasan itu disuarakan.
Namun bila kita kritisi, asumsi-asumsi serupa itu patut diragukan. Memang betul bahwa Brecht telah terpengaruh oleh teater timur, tapi ide-ide yang ia dapatkan dari hasil menyaksikan Opera Cina tersebut diintegrasikan ke dalam struktur berpikirnya sebagai orang Barat (Eropa) yang memahami realitas secara dualistis. Artinya, bagi orang Barat realitas ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu dunia nyata dan dunia reka. Dunia nyata merupakan suatu realitas yang bisa dipahami dengan menggunakan ukuran-ukuran yang pasti, sedangkan dunia reka merupakan dunia khayal yang biasanya menguasai pikiran anak-anak, tidak bisa diukur, dan karena itu tidak berguna. Dunia nyata lebih superior dibandingkan dunia reka. Sedangkan bagi orang-orang Timur realitas tidak terbagi serupa itu. Dunia nyata dan dunia reka bukan realitas yang saling terpisah, tapi saling menembus. Tak ada yang lebih baik atau lebih rendah di antara keduanya. Keduanya saling membutuhkan sehingga bila salah satu hilang atau dilupakan dalam kehidupan manusia, maka kosmos menjadi terguncang, dan dengan demikian hidup berada dalam kekacauan. Kesenian seperti pertunjukan wayang kulit, misalnya, hadir sebagai salah satu alat dalam upaya mengatasi kekacauan tersebut.
Teater realisme di Barat yang berupaya menghadirkan ilusi di atas panggung, lalu kemudian menghipnotis penontonnya untuk percaya bahwa yang ditontonnya tersebut ‘nyata’, merupakan salah satu konsekuensi dari sikap dan pandangan hidup yang memandang realitas secara dualistis. Karena dunia nyata lebih superior, maka hal-hal yang tidak masuk akal, naif atau kekanak-kanakkan, perlu disingkarkan dari atas pentas. Orang yang terbunuh lalu bangun lagi, pergi ke Jakarta hanya naik kursi atau mobil-mobilan, atau ada utusan dari kahyangan yang akan mengamankan bumi, merupakan contoh-contoh peristiwa yang dianggap ‘omong kosong’ dan perlu disingkirkan dari atas pentas. Dunia pentas merupakan imitasi dari dunia nyata, maka dengan demikian ‘hukum-hukum’-nya pun mesti meniru dunia itu. Setiap tetek-bengek yang tidak masuk akal hanya akan mengganggu aktivitas emosional penonton yang sedang melakukan identifikasi dan empathi terhadap hal-hal yang terjadi dalam tontonan.
Sudah tentu konsep efek alienasi dalam teater epik Brecht yang ‘mematahkan’ keterlibatan emosional para penontonnya dalam jenis tontonan seperti di Barat bisa dibayangkan akan memberikan efek yang demikian menghenyakkan. Namun dalam teater (modern) Indonesia yang tak pernah memiliki tradisi realisme ala Barat tidak akan pernah efek alienasi seperti yang diinginkan Brecht bisa dibangun. Betul bahwa dalam teater tradisional seperti ludruk, longser, atau masres, ada kemiripan-kemiripan seperti yang diungkapkan Brecht. Tapi bukan berarti bahwa teater tradisional tersebut merupakan teater epik yang memiliki efek alenasi. Bila di dalamnya terlihat seperti memiliki kejanggalan-kejanggalan yang membaurkan antara dunia nyata dan dunia reka, main-main dan tampak naif, tentu itu tidak bisa dikatakan sebagai efek alienasi seperti yang dimaksud Brecht, tapi karena memang kita memandang realitas kehidupan serupa itu. Sungguh kurang tepat bila kita melakukan suatu penelitian teater tradisional, misalnya, dengan menggunakan konsep-konsep teater Brecht hanya karena melihat ada kemiripan-kemiripan di antara keduanya. Suatu kemiripan bukan berarti memiliki latar belakang pemikiran yang sama. Teater epik Brecht dengan efek alienasinya bermaksud membongkar topeng-topeng ideologis suatu kelas yang telah dianggap sebagai kebenaran mutlak, dan teater tradisional Indonesia awalnya merupakan suatu sarana upacara ritual yang bisa jadi dimaksudkan untuk melanggengkan dominasi dari kelas tertentu. ***
Daftar Pustaka
Aristoleles
1982 On Poetry and Style (terjemahan dengan pengantar oleh G.M.A. Grube). Indianapolis : The Bobes-Merril Company
Boal, Augusto
1974 “Teater Kaum Tertindas.” Tanpa Kota: Jaringan Pekerja Teater Pinggiran
Brecht,Bertold
1978 Brecht on Theatre The Development of an Aesthetic (terjemahan dan
editor John Willett). London : Methuen
1980 “Organon Kecil Untuk Teeter” (terj. Boen S. Oemarjati), dalam Pertemuan Teater 80. Editor. Wahyu Sihombing. Jakarta : 1980
Gassner, John
1954 The Theatre in Our Times A Survey The Men, Material and Movement in The Modern Theatre. New York : Crown Publishers, Inc.
Holthusen, Hans Egon
1962 “Brecht’s Dramatic Theory”, dalam Brecht a Collection of Critical Essays. Ed. Peter Demetz. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall, Inc.
Kwant, R.C.
1975 Manusia dan Kritik (terj. Soedarminto). Yogyakarta : Kanisius
Magnes-Soeseno, Fran
1999 Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia
Monaco, James
Tt Cara menghayati Sebuah Film (terj. Asrul Sani). Jakarta : Yayasan Citra
Sembung, Willy F.
1985 “Pengetahuan Tentang Bentuk-bentuk Lakon”. Diktat. Bandung : ASTI