Cari Blog Ini

Blog ini berisi, terutama, tentang teater. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga berbicara seni secara umum, sastera, filsafat, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Hal ini disebabkan, saya, pembuat blog ini, memiliki minat yang luas terhadap berbagai bidang keilmuan. Untuk anda yang ingin menyalin tulisan saya,silakan dengan syarat menyebutkan sumber dan penulisnya. Terima kasih. Salam.

Minggu, 03 April 2011

Seni dalam Bingkai Kebudayaan yang Berubah

Menurut Koentjaraningrat (Kebudayaan mentalitas dan Pembangunan, Cetakan Kesepuluh, 1983) ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap universal, artinya ada di berbagai ruang dan waktu di dunia, yaitu: sistem religi, sistem organisasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem matapencaharian, dan sistem teknologi dan peralatan hidup. Tata-urut itu dibuat sedemikian rupa untuk memperlihatkan bahwa yang disebutkan lebih awal adalah unsur kebudayaan yang lebih sulit berubah dibandingkan dengan yang lainnya. Kita tidak tahu apa yang dijadikan ukuran atau parameter yang dipakai penulisnya bahwa yang satu lebih gampang berubah di¬bandingkan yang lainnya, dan kita pun tidak tahu apakah sudah ada penelitian yang seksama terhadap unsur unsur kebudayaan itu sehing¬ga ia menjadi valid untuk menyebutkan bahwa unsur kebudayaan sistem pengetahuan suatu masyarakat, misalnya, lebih sulit diubah diban¬dingkan bahasa yang persis perada di bawahnya.
Begitu pula dengan penempatan kesenian sebelum sistem matapencaharian, sungguh sulit untuk dibuktikan bahwa sistem matapencaharian itu lebih gampang berubah daripada kesenian. Apalagi pada masa sekarang saat orang-orang tak lagi mudah memprediksi apa yang akan terjadi di masa depannya yang paling dekat dan beribu-ribu orang mengantri untuk menjadi pengganti seorang pekerja yang berhenti karena sulitnya mencari kerja. Bisa jadi penyusunan urut urutan itu berdasarkan pada kebudayaan masyarakat tradisional dengan komunitas yang kecil, spesialsasi pekerjaan yang belum terlalu rumit, serta sikap individualitas yang tidak terlalu mencuat kepermukaan. Dalam masyarakat serupa itu kesenian memang masih dimiliki bersama dan karena itu sulit untuk berubah. Para seniman pada umumnya masih patuh pada pakem pakem yang dianut bersama, sehingga pencipta¬an karya seni baru yang keluar dari pakem pakem seolah-olah tidak per¬nah terjadi.
Seorang pelukis Sangging Kamasan Bali, Nyoman Mandra, seperti yang pernah diungkapkan Umar Kayam (1981), adalah contoh sosok seniman tradisi yang setia terhadap pakem-pakem atau aturan-aturan yang telah ditetapkan tradisi (masyarakat). Ia hidup di sebuah desa (banjar) dengan masyarakat yang masih kuat memiliki rasa kebersamaan pada komunitas. Oleh sebab itu Nyoman Mandra senantiasa melukis dengan tema-tema yang sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari, tema yang juga diungkapkan oleh nenek moyang. Contoh lain bisa ditambahkan: dalang wayang kulit purwa dalam masyarakat Jawa saat kebersamaan masih jadi pegangan. Dalang dulu masih dianggap orang yang serba tahu , serta mampu melaku¬kan komunikasi dengan makhluk makhluk suprahuman. Karena itu, da¬lang di mata masyarakat tradisional Jawa merupakan orang yang da¬pat menjembatani antara dunia atas, dunia para susuhunan, dengan dunia bawah, yakni dunia yang dihuni manusia yang rentan terhadap guncangan guncangan. Maka agar tetap terjaga ketertiban ‘kosmos’ dalang lalu melakukan pertunjukan wayang, tentu saja setelah di¬minta masyarakat, dan masyarakat mendengarkan dan menyaksikan de¬ngan seksama pertunjukan tersebut sambil mencocokkan lagi sikap moral, akal dan estetiknya (van Groenendael, 1987).
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dalam masyarakat tradisional kesenian tak pernah berubah. Seketat apapun suatu aturan atau norma mengatur perilaku masyarakatnya, ia senantiasa memberikan semacam peluang kepada para anggotanya untuk mengatasinya. Kebudayaan tak pernah hanya berupa sisi yang telah mapan saja, ia pun memiliki sisi untuk diselewengkan. Dalam wayang kulit purwa, misalnya, walaupun seorang dalang diharapkan untuk menyajikan pertunjukan sesuai dengan konvensi, tapi dalam adegan-adegan tertentu, seperti adegan goro-goro, ia diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi. Mungkin kebebasan untuk melakukan improvisasi itu hanyalah sebuah “lubang kecil”, tapi justru karena memiliki kekontrasan dengan bagian-bagian lain yang begitu ketat bercermin pada aturan-aturan, ia menjadi lebih menonjol dan memiliki efek yang kuat.
Dalam karya sastra klasik seperti kakawin yang dianggap paling ketat kaidah dan normanya, contoh lain lagi, juga tidak berarti tak ada peluang untuk mentransendensi aturan-aturan tersebut. A. Teeuw (1983) memperlihatkan bahwa Negarakertagama, salah satu jenis sastra Jawa Kuno yang berbentuk kakawin yang diciptakan Mpu Prapanca, merupakan sebuah karya yang melakukan penyimpangan secara mencolok, sebab teks tersebut tidak bercerita tentang dewa dan pahlawan epos seperti lazimnya, tapi merupakan kisah keadaan kontemporer Majapahit, yakni perjalanan raja Hayam Wuruk ke ujung timur pulau Jawa.

Seni: Ketegangan antara Konvensi dan Inovasi
Tak syak lagi, sejarah seni memang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Apalagi pada masa kini saat manusia berada dalam dunia yang telah mengglobal, berada dalam batas-batas sosial-budaya yang mulai samar. “Dunia telah menjadi kampung besar”, ujar Marshall McLuhan. Manusia yang terlibat dalam peradaban dunia tak lagi bisa mengisolir diri untuk tidak bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan dari belahan dunia yang lain. Memang masih ada kelompok-kelompok kecil masyarakat yang bertahan dalam suasana dan kondisi budayanya yang “asli”, seperti misalnya masyarakat Kanekes (Baduy), tapi sampai kapan mereka dapat bertahan dari gempuran-gempuran modernisasi dan semangat globalisasi ini? Konon banyak anak-anak Kanekes sekarang yang menonton televisi di rumah-rumah penduduk luar di sekitar kampung mereka. Apakah ini pertanda bahwa sukubangsa Kanekes atau Baduy yang sekarang masih bertahan dengan budayanya secara ketat, dalam waktu kira-kira 25 hingga 50 tahun mendatang hanya akan menjadi cerita di dalam buku-buku saja?
Meskipun pengaruh dari luar bukan satu-satunya variabel yang menyebabkan ketegangan antara konvensi dan inovasi dalam kesenian, tapi ia memberikan dampak yang demikian mengejutkan bagi hadirnya jenis-jenis seni yang tampak tidak atau kurang “familier” dengan masyarakat tempat seniman menjadi salah satu anggotanya. Jelas bahwa masuknya kebudayaan berbeda pada kebudayaan lain, akan menyebabkan terjadinya penilaian kembali terhadap kebiasaan-kebiasaan yang semula dianggap biasa, dan pada gilirannya ini mengakibatkan timbulnya dua kemungkinan: atau lebih memperkuat kebiasaan-kebiasaan lama, atau justru sebaliknya, menggugat keabsahan kebiasaan-kebiasaan lama. Kalau kita berbicara tentang akibat yang kedua, maka dalam kesenian, gugatan itu terwujud dalam pemberontakan terhadap kebiasaan-kebiasaan mencipta karya seni yang telah dianggap lazim dan seolah-olah demikianlah seharusnya. Begitulah, dalam teater, misalnya, kebiasaan lama pertunjukan teater yang bertitik-tolak dari anggapan bahwa aktor merupakan media utama teater, telah menghadirkan suatu karya teater yang menonjol dengan akting, meminjam istilah Suyatna Anirun, “sedap dipandang mata” seperti tercermin dalam beberapa garapan STB; tapi hal ini kemudian digugat dengan memunculkan suatu anggapan yang berbeda: “sebatang lidi pun sama pentingnya dengan kehadiran aktor di atas pentas”. Jadi, ketika benda, bunyi, atau kesunyian sekali pun yang sengaja dihadirkan dalam suatu pertunjukan, ia tak lagi marginal, dan tak perlu disingkirkan atas nama “raja” di atas pentas (aktor), karena ia memiliki posisi yang sama. Pertunjukan teater yang bertitik-tolak dari anggapan berbeda ini tercermin dalam sebagian besar karya Teater SAE, terutama yang disutradarai oleh Boedi S. Otong, dan pada tahun 90-an yang lalu sempat menjamur dan menjadi semacam trend, meskipun kemudian surut kembali.
Seni, sebagai salah satu unsur kebudayaan, kini memperlihatkan perubahan-perubahan yang demikian cepat. Banyak seniman yang kiranya tidak lagi perduli dengan pranata-pratana yang semula menjadi anutan bersama. Saat kaidah-kaidah lama diberontaki, maka idealnya alternatif penggantinya diterima terlebih dulu oleh masyarakat, dan kemudian terbentuklah pranata baru yang akan menjadi pedoman mencipta atau juga menikmati karya seni. Namun kondisi semacam itu pada masa kini, terutama dalam kesenian, sungguh sulit tercipta. Para seniman tampak memiliki suatu kecenderungan pribadi yang tinggi. Selain sebagai seniman, mereka banyak yang menjadi ahli teori seni, dan secara sadar membebaskan diri dari sistem dan ikatan-ikatan konvensi. Sementara suatu hasil pemberontakan belum selesai diterima dan dipahami masyarakat, ia telah meloncat pada suatu pencaharian yang baru, atau malah telah diberontaki lagi oleh seniman lainnya. Kondisi ini jelas menyebabkan kemacetan komunikasi yang demikian parah. Kredo-kredo tentang seni banyak bermunculan, tapi ia tidak terlalu banyak membantu umtuk bisa menciptakan komunikasi yang efeketif, sebab ia muncul penuh dengan terminologi-terminologi subyektif. Kritikus seni yang semestinya menjadi komunikator kedua yang menjembatani kesenjangan antara karya seni dengan penikmatnya, tampak bingung dan tak berdaya. Bila biasanya mereka bisa mengkategorikan karya-karya seni dengan istilah-istilah seperti realisme, naturalisme, kubisme, absurditas, abstrak, ekspresionisme, dan sebagainya, untuk menandakan satu kecenderungan dilampaui oleh kecenderungan yang lainnya, kini kategori-kategori itu tampak menjadi kurang penting dan terasa artifisial. Begitu pula dengan istilah-istilah untuk menunjuk bahwa “ini” karya seni rupa dan “itu” karya teater, tari, musik, seni sastra , atau entah apa lagi, menjadi kabur karena batas-batas itu pun didobrak. Instalasi Tumbuh Tisna Sanjaya, misalnya, yang menjadikan Bandung, Surabaya, dan Solo sebagai galeri (atau panggung?)-nya, apakah ia karya rupa, teater, atau tari? Membingkai karya tersebut pada salah satu kategori kiranya kurang bermanfaat, sebab ia merupakan karya seni yang merembas pada berbagai pembatas.
Tentu saja betapa pun “gelap” atau “absurd” sebuah karya seni, tidak berarti ia tidak bisa diinterpretasikan sama sekali. Artinya, dalam komunikasi seni tak ada komunikasi yang macet secara total. Karya seni merupakan karya manusia yang hidup dalam sebuah ruang dan waktu yang telah di-‘jinak’-kan oleh tanda-tanda manusiawi, yaitu kebudayaan. Sebagai subyek manusia memiliki keunikan yang khas, dan sebagai makhluk sosial ia tak bisa lepas dari jaring-jaring makna yang ditenun secara bersama. Ketika subyektivitas seniman begitu menonjol dalam karyanya, sehingga ia terlihat begitu aneh, asing, atau membingungkan, biasanya penikmat mencoba untuk memahami atau menghubung-hubungkannya dengan sesuatu yang telah dikenalnya. Mungkin pemahamannya itu bisa tepat, kurang tepat, atau tampak begitu naif. Apapun hasil pemahamannya, komunikasi telah terjadi. Hanya saja, untuk sampai pada komunikasi yang efektif, pesan atau visi karya seni tertangkap oleh penikmat sesuai dengan maksud seniman, penikmat jelas harus bekerja keras, membongkar kembali perbendaharaan pengalamannya, dan membangun sebuah ‘freame’ yang cocok dengan semangat zaman.
Sepekan setelah peristiwa Nur Gora Rupa di Taman Budaya Solo, yakni sebuah ajang yang menampilkan karya-karya eksperimental dari berbagai kalangan seniman, dalam tajuk rencana koran Kompas dikupas tentang persoalan kritik seni. Inti tulisan itu adalah membahas masalah perlunya kritikus seni yang bersungguh-sungguh ditengah-tengah dinamika penciptaan karya-karya seni yang terlihat lepas dari ikatan-ikatan norma dan kaidah lama. Sesungguhnyalah kritikus tak bisa berkutat secara terus-menerus dengan asumsi-asumsi yang tampaknya sudah tidak cocok lagi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai orang yang mencoba menjembatani komunikasi antara penikmat dengan seniman, kritikus harus bisa mengikuti perkembangan. Saat ia berhadapan dengan jenis karya-karya seni yang dianggap menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan lama, ia tidak serta-merta mencapnya sebagai karya yang jelek, tidak bermutu, tapi berusaha untuk memahami: Mengapa karya seperti itu lahir? Latar belakang apa yang mendorong seniman menciptakan karya tersebut? Apa sebetulnya yang ingin diungkapkan seniman dengan melakukan hal itu? Karya seni tidak lahir setelah kritik, demikian sebuah pomeo yang pernah saya dengar. Artinya, bukan kritiklah yang memaksakan bahwa karya seni itu harus ‘begini’ atau ‘begitu’, tapi karya senilah yang menentukan bagaimana kritik semestinya memandang. Penikmatan seni memang persoalan selera, namun ketika seseorang bertindak sebagai kritikus, maka agar penilaiannya bisa “obyektif”, ia tidak bisa bertolak dari kriteria suka atau tidak suka.
Kehadiran seni-seni yang dianggap menyimpang memang awalnya selalu dicurigai. Ketidakwajaran, “kekusutan” dan keanehan yang ditampilkannya mengganggu keteraturan-keteraturan yang telah berjalan dengan lancar. Ia begitu “menakutkan” sebab ia belum begitu akrab dengan situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya. Karena itu, seni yang menyimpang selalu diusahakan oleh orang-orang yang berkepentingan dengan keutuhan status quo untuk tetap marjinal. Pembingkaian dengan stigma-stigma seperti “pelarian”, “jeprut”, “kekanak-kanakkan” dan sebagainya, merupakan salah satu upaya untuk meredam keliarannya, sehingga dengan begitu diharapkan ia tidak merembes ke wilayah yang dianggap normal.
Namun, seperti sudah dilihat, perembesan itu tetap saja terjadi. Dengan berbagai stretegi, para seniman yang dianggap menyimpang berusaha hadir di tengah-tengah keseharian yang normal dan biasa. Misalnya, ditengah-tengah hingar bingar kesibukan orang-orang berbelanja, seorang seniman, Iman Soleh, mengejar-ngejar uang yang tergantung di depan wajahnya. Dunia yang semula dibangun dengan tertib sebagai ajang transaksi antara penjual dan pembeli, tiba-tiba diruntuhkan oleh peristiwa yang “aneh”. Atau peristiwa yang lebih anarkis terjadi di Eropa (Perancis), saat gerakan dada baru diproklamirkan: Di tengah-tengah pertunjukan teater yang serius, tiba-tiba seorang seniman dada menerobos ke atas pentas, kemudian berteriak: “Viva dada!” (Sukito, tt). Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sangat mencolok, sebab ia timbul di tengah-tengah keteraturan; dan dengan demikian ia menjadi perhatian orang-orang yang hadir yang terhenyak seketika karena keteraturan yang tengah dijalaninya, tiba-tiba diinterupsi oleh hal-hal yang “tidak normal”.

Pendidikan Seni dan Perubahan
Ada hal yang perlu direnungkan oleh institusi pendidikan seni, seperti STSI Bandung atau FSRD ITB misalnya, yakni kalau kehidupan kesenian senantiasa berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi, apakah kurikulum yang selama ini dipakai sebagai suatu kebijaksanaan pengajaran telah mampu mengakomodir dinamika perkembangan seni di luar tembok kampus atau sekolah? Ilmu seni adalah seperangkat sistem atau dalil yang lahir dari hasil pengkajian terhadap gejala-gejala kesenian yang telah muncul sebelumnya. Namun tidak berarti ilmu tersebut madeg sampai di situ. Bila kita percaya bahwa kesenian itu berkembang, maka ilmu seni pun harus berkembang. Oleh karena itu, sebuah kurikulum, agar bisa menghasilkan output yang mampu survive di tengah-tengah gempuran perubahan, ia semestinya selalu ditinjau-ulang, disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Demikian pula dengan sikap pendidik, ia tidak bisa berhenti mengkaji dan menimbang ilmu-ilmu yang dimilikinya, atau bersikap normatif dan tidak mentolerir mahasiswanya yang terlihat “aneh” atau “nyeleneh” dalam berkarya seni. Kebudayaan senantiasa berubah, demikian pula dengan kesenian sebagai salah satu unsurnya. Ketika sang pendidik berkutat pada suatu posisi yang statis dan tak mau perduli dengan yang terjadi di sekelilingnya, maka ia menjadi penindas kreativitas.***



Daftar Pustaka

Kayam, Umar
1981 Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan

Koentjaraningrat
1983 Kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. (Cet. Ke-10) Jakrata: Gramedia

Kompas
1994 “Semakin Diperlukan, Kritik Seni yang Bersungguh-sungguh”. 23 April. Jakarta


Sukito, Wiratmo
Tt “Diktat Apresiasi Drama Hendrik Ibsen sampai Antonin Artaud”. Jakarta: IKJ

Teeuw, A.
1983 Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia

van Groenendael, Clara
1987 Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Grafitipers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar